“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199) Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling dari tindakan yang tidak patut. Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak umat ini. Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur, sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada periode awal perkembangan Islam. Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi” (keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut. Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”. Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan. Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil. Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap, mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam. |
Rabu, 26 Mei 2010
Membangun Akhlakul Karimah
Sabtu, 01 Mei 2010
Pentingnya Tenang Dalam Setiap Ujian
Setiap individu baik remaja, dewasa atau orang tua, sudah semestinya pernah menghadapi masalah dalam hidup. Kata orang hidup tanpa masalah bukan hidup namanya. Berlegar dari masalah yang paling besar hinggalah masalah yang paling kecil, semuanya tetap dinamakan masalah. Cuma masalah yang dihadapi oleh seseorang itu berbeza. Bagaimana cara untuk mengatasinya juga adalah juga satu masalah. Namun hakikatnya setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Biasanya sebelum masalah itu selesai kita akan berasa sangat tertekan, hampir putus asa kerana tidak tahan menghadapinya. Antara masalah yang wujud di persekitaran kita ialah masalah kemiskinan, kehilangan orang tersayang, masalah cinta, pertengkaran dengan ibu bapa, corot dalam peperiksaan serta beribu-ribu masalah lagi. Masalah juga boleh menyumbang kepada masalah yang lain, contohnya masalah remaja yang tidak tahan dengan leteran ibu bapanya boleh membawa remaja itu kepada masalah lepak, pergaulan bebas, dirogol, diculik dan juga mungkin dibunuh. Masalah yang kecil apabila tidak ditangani dengan baik boleh membawa kepada mudarat yang amat besar. Setiap hari kita tidak akan terlepas dilanda dengan masalah, sekiranya bukan kita yang bermasalah, orang lain pula yang mendatangkan masalah. Oleh itu kita perlu bersedia menghadapi permasalahan tersebut dan cuba mencari kaedah untuk mengatasinya. Di sini saya ingin mengajak Anda sama-sama kita renung sejenak apa sebenarnya maksud setiap masalah itu, kaedah untuk mengatasinya serta panduan menghadapi masalah dengan tenang. UJIAN IMAN Masalah sebenarnya adalah ujian Allah kepada kita untuk mengukur sejauh mana tahap keimanan dan ketakwaan kita terhadap-Nya. Sebab sebagai manusia kita sering terlupa serta lalai dengan tanggungjawab kita sebagai hamba Allah apabila hidup kita sentiasa dilimpahi kesenangan dan kemewahan. Lebih-lebih lagi ketika usia remaja, hidup penuh dengan keseronokan dan sentiasa ingin mencuba sesuatu yang baru walaupun perkara itu jelas haram di sisi agama dan menyalahi undang-undang dunia, contohnya mengambil dadah dan hanyut dengan maksiat, dengan adanya ujian seperti ini, ia akan kembali mengingati apakah hidup kita selama ini mengikuti peraturan atau landasan yang telah ditetapkan oleh Allah ataupun telah jauh menyimpang. Setiap masalah, kesukaran, kesakitan dan apa jua yang menyeksa jiwa adalah merupakan ujian dari Allah untuk menguji sejauh mana iman kita. Iman perlu kepada ujian. Ini jelas sebagaimana maksud firman Allah : "Adakah manusia itu menyangka bahawa mereka dibiarkan saja mengatakan; "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta." ( al-Ankabut: 2 - 3) DARJAT DI SISI ALLAH Ujian atau dugaan yang datang adalah dari Allah, sama ada ujian itu sebagai ‘kifarah’ dosa yang telah kita lakukan atau untuk mengangkat darjat kita di sisi-Nya. Allah juga tidak menduga hamba-hamba-Nya tanpa mengambil kira kesanggupannya atau keupayaan mereka untuk menghadapinya, ujian dan dugaan yang diturunkan Allah kepada hambanya adalah seiring dengan keupayaan individu itu untuk menyelesaikan masalahnya. Ini bersesuaian dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah:286 yang bermaksud “ Allah tidak membebankan seseorang melainkan dengan kesanggupannya”. Oleh itu sekiranya kita berhadapan dengan masalah, cubalah bawa bertenang, bersabar dan setkan dalam minda bahawa kita sedang diuji oleh Allah, orang yang melepasi ujian itu adalah orang yang berjaya dan mendapat kedudukan yang mulia di sisi Allah. "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Syurga untuk mereka." ( at-Taubah: 111) CARA MENGATASI MASALAH 1. Sandarkan Harapan Pada Allah Setiap ujian yang datang sebenarnya mempunyai banyak hikmah di sebaliknya. Yakinlah bahawa setiap kesusahan yang kita tempuhi pasti akan diganti dengan kesenangan. Ini bersesuaian dengan firman Allah dalam surah al-Nasyrah ayat 1hingga 8 yang antara lain maksudnya “ …Sesungguhnya selepas kesulitan itu pasti ada kemudahan….” "Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada Tuhan selain dari-Nya. Hanya kepada-Nya aku bertawakal."( At-Taubah: 129) 2. Minta Pertolongan Dari Allah "Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan yang sabar dan dengan mengerjakan solat; dan sesungguhnya solat itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyuk." ( al-Baqarah: 45) 3. Jangan Sedih dan Kecewa "Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi darjatnya jika kamu orang-orang yang beriman." ( al-Imran:139) Yakinlah dengan janji Allah itu dan jangan cepat putus asa dengan masalah yang dihadapi sebaliknya tingkatkan usaha dan kuatkan semangat untuk mengatasinya, lihat maksud firman Allah di bawah: “ ...dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir”( Yusuf : 12) 4. Luahkan masalah tersebut pada teman-teman yang dipercayai, walaupun dia mungkin tidak dapat membantu, tetapi sekurang-kurangnya ia dapat meringankan beban yang kamu tanggung. 5. Bandingkan masalah kita dengan masalah orang lain, mungkin masalah orang lebih besar dari masalah kita, perkara ini juga boleh membuatkan kita lebih tenang ketika menyelesaikan masalah. Ujian yang datang juga tandanya Allah sayangkan kita. Jadi ambillah masa untuk menilai diri dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dalam apa jua yang kita lakukan. Lakukanlah untuk mencari redha Allah. Fikir dengan positif bahawa setiap dugaan datang dari Allah dan pasti ada hikmah yang tersendiri. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." – (al-Baqarah: 216) |
Motivasi: Menurunnya keimanan itu, bukan alasan untuk bersedihan.
Hidup ini penuh pancaroba, dan pancaroba itu ada hikmahnya
Iman sifatnya Yazid wa yanqus. Yazid berasal dari perkataan zada bermaksud tambah. Yanqus berasal dari perkataan Naqasa bermaksud berkurang. Iman itu sifatnya bertambah dan berkurang, naik dan turun.
Itulah dia resminya kita. Hamba Allah SWT.
Ada masa terjatuh juga. Ada masa tersungkur juga.
Dan bila jatuh dan tersungkur itu, jiwa akan sedih meronta-ronta.
“Kenapa begini? Kenapa begini?” Kita akan tertanya-tanya. Seakan-akan kita merasakan betapa amal kebaikan kita tidak bermakna. Amal, amal, amal kemudian berdosa semula. Buat baik, buat baik, buat baik, nanti tersungkur juga.
Akhirnya kita memilih untuk meninggalkan kebaikan. Katanya sudah tiada harapan.
Sebenarnya, kita tidak mengerti bahawa, di dalam kejatuhan iman itu sendiri, ada hikmah besar yang tersembunyi.
Orang-orang yang beriman bukan sempurna
Orang yang beriman itu tidak sempurna. Walaupun dia beriman kepada Allah SWT, tetap ada waktunya dia akan tersungkur jatuh melakukan kesilapan. Adakala kesilapannya besar, adakala kesilapannya kecil. Hatta orang-orang yang alim dan kelihatan seperti malaikat juga ada waktu-waktu kurangnya. Tinggal terzahir atau tidak sahaja.
Ini dibuktikan dengan kisah Abu Dzar RA dan Bilal bin Rabah RA. Apabila satu ketika, Abu Dzar RA memanggil Bilal: “Hoi Anak Hitam” dan kemudian Rasulullah SAW menegur: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya pada dirimu masih ada jahiliyyah”
Ya. Ada kalanya kita dah rasa stabil, rasa keimanan kita meninggi, ada kalanya kita akan terleka dan terlalai. Lantas alpa menolak kita ke gaung kesilapan.
Dan ketahuilah, kesilapan itu sendiri adalah satu ujian.
Dan di dalam ujian itu ada hikmah yang besar daripada Ar-Rahman.
Hikmah satu kejatuhan
Ada kata-kata hikmah berbunyi:
“Hanya si buta mengetahui nikmatnya melihat, hanya si mati mengetahui nikmatnya kehidupan”
Di sinilah tersembunyinya hikmah yang besar mengapa Allah SWT menjadikan keimanan manusia itu berbentuk naik dan turun.
Supaya manusia belajar menghargai keimanan mereka.
Manusia yang telah menyentuh kelazatan iman, apabila mereka tersasar dari landasan keimanan itu, mereka akan rasa kekosongan, rasa kekurangan. Di sinilah bagi yang jiwanya sensitif, akan bangkit segera memperbaiki diri. Dan apabila mereka bangkit, mereka akan bangkit dengan lebih tinggi dari sebelum kejatuhan mereka.
Allah mencipta kitaran Iman sedemikian rupa, agar yang terbaik mampu dihasilkan.
Sebab itu, bumi ini tidak diberikan kepada malaikat untuk mentadbirnya. Tetapi Allah berikan kepada manusia yang pasti akan melakukan kesilapan, tertarik-tarik antara kebaikan dan kefasadan untuk metadbirnya.
Hal ini kerana, hanya yang pernah jatuh, mengetahui kepentingan berada di tempat yang tinggi. Justeru, manusia yang beriman apabila mereka jatuh, mereka akan rasa sebahagian besar kenikmatan hidup mereka tertarik keluar. Di sini, Allah menguji mereka, Allah menapis mereka.
Siapakah antara hamba Allah yang terbaik dalam melangkahi ujian ini?
Dan orang yang benar keimanannya akan bangkit. Bergerak. Memperbaiki diri dan meningkat lebih tinggi.
Hanya orang yang keimanannya palsu, akan terus tunduk dan berputus asa. Jatuh lebih ke bawah dari yang sebelumnya.
Lihatlah Mereka itu
Kembali kepada kisah Abu Dzar, apabila dia ditegur oleh Rasulullah SAW tadi, dia bingkas meletakkan wajahnya ke tanah. Menjerit meminta Bilal memijaknya. Hatinya gentar dengan keimanannya yang menurun. Lantas bergerak memperbaiki dirinya. Dan kita mengetahui bahawa Abu Dzar adalah antara sahabat termulia di sisi Rasulullah SAW.
Lihatlah pula kepada Ka’ab bin Malik, apabila beliau terleka hingga meninggalkan Peperangan Tabuk. Lantas dia sedar akan kesilapannya, tidak pula dia putus asa untuk menjadi baik apabila Rasulullah menghukumnya. Bahkan dia menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya, hingga Allah menurunkan ayat Al-Quran secara terus mengampunkannya.
Lihatlah pula kepada Umar Al-Khattab, dia pada suatu hari membawa Taurat untuk dijadikan rujukan dan Rasulullah SAW marah kepadanya. Selepas itu lihatlah Umar bagaimana dia bergerak menjadi seorang yang sangat tegas atas Al-Quran dan Sunnah. Menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Lihatlah pula kepada Handzalah dan Abu Bakr RA, apabila mereka merasakan diri mereka telah terlalai dari mengingati Allah SWT, lantas mengumumkan bahawa diri mereka telah menjadi munafiq dan menangis-nangis kecewa. Ditegur oleh Rasulullah SAW bahawa perkara itu adalah biasa jika ianya tidak berpanjangan. Dan lihatlah kemudiannya di mana tempat mereka di dalam keimanan. Naik lebih tinggi dari sebelumnya.
Oh, apakah orang-orang yang jatuh itu tidak melihat, bahawa kejatuhan mereka itu hakikatnya adalah pengajaran halus daripada Allah SWT?
Penutup: Bila jatuh, jangan kecewa. Lekas naik semula jangan banyak bicara
Justeru, bila jatuh, bila melakukan kesilapan, bila melakukan dosa, jangan pula rasa tersangat kecewa hingga tiada harapan langsung untuk kita.
Lihatlah betapa hakikatnya, kejatuhan itu adalah untuk mengajar diri kita, mendidik jiwa kita, agar lebih menghargai keimanan kita, menghargai hubungan kita dengan Allah SWT.
Kejatuhan itu sendiri, adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya untuk memberikan peluang kepada mereka tertingkat dengan lebih tinggi lagi.
Maka jangan banyak bicara, jangan berduka terlalu lama, bangkitlah dengan mengambil pengajaran apabila jatuh itu.
Biar bangkit lebih tinggi dari kebangkitan sebelumnya.