Selasa, 30 November 2010

Ketika Akupun Berharap untuk Menukar cinta itu dengan Cinta dariNya

Ketika Akupun Berharap untuk Menukar cinta itu dengan Cinta dariNya

Bismillahirrahmanirrahiim...

Suatu hari pemuda itu bersedih ketika ia berpisah dengan cinta fananya. Ia bersedih bukan karena ia kehilangan cintanya, melainkan karena ia sadar bahwa ia pernah menaruh seseorang yang belum halal di dalam hatinya hingga iapun sulit untuk melepaskan kepergiannya. Ia kecewa bukan karena ditinggalkan oleh cinta fananya, tetapi dia kecewa mengapa tidak sejak awal ia menghentikan langkahnya untuk mengikuti langkah-langkah syaitan. Sekarang ia menangis, bukan karena ia kecewa, tetapi karena ia Bertaubat kepada Pemilik hatinya.Besar Harapan itu datang dari Pemilik Cinta, agar cinta yang fana itu berganti kepada Kecintaan dari Rabbnya yang Maha Pemurah, karena Taubat-taubatnya...Karena ia percaya bahwa:... Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Al-Baqoroh: 222

Dan Ku Bina Akhlakku dengan Jilbab

Dan Ku Bina Akhlakku dengan Jilbab


Bismillahirrahmanirrahiim...


Apakah seorang siswa harus menjadi pintar terlebih dahulu sebelum ia masuk sekolah? Tidak, karena siswa yang masuk sekolah itu justru bertujuan agar ia menjadi manusia yg pintar sehingga jika ia sudah pintar maka iapun akan berbahagia atas apa yang ia peroleh. Begitupun juga dengan muslimah, tidak harus akhlaknya baik dahulu baru berjilbab, karena jilbab adalah sekolah akhlak baginya, agar dengan sekolah itu ia mampu membina akhlaknya menjadi baik. Jika akhlaknya sudah baik, maka ia akan berbahagia, di tempatnya yaitu Syurga... Subhanallah..
Qad aflahal Muminuuun...

Insya Allah...Salam Cintaku kepada kalian semua atas Nama Rabbku Yang Maha Menyayangi Kalian.
Insya Allah

Jumat, 20 Agustus 2010

Cinta Kepada Allah dan Cinta Kepada Manusia; Mungkinkah Dipadukan?

Nabi Muhammad Saww bersabda : “Barangsiapa yang tiada mengasihi manusia maka Allah-pun tiada mengasihinya!” (Kanz al-‘Ummal, hadits ke : 5972)

Di Dalam ajaran Islam, Mengasihi Sesama Manusia adalah bagian terpenting dari ajaran Nabi Muhammad saww dan Ahludfsan Nabi Muhammad Saww merupakan rahmat dan wujud kasih sayang Allah SwT atas Alam Semesta ,“Tiadalah Kami mengutusmu (Wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat (Ku) atas Alam Semesta” (QS Al-Anbiya’ [21] ayat 107)

Ayat di atas sekaligus menjelaskan tujuan dari diutusnya Muhammad saww sebagi Rasul dan Nabi, yaitu memanifestasikan Kasih Tuhan ke seluruh penjuru semesta.

Di dalam hadits lainnya diriwayatkan Rasulullah saww bersabda, ”Demi Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah masuk Surga kecuali orang yang memiliki rasa kasih sayang.”

Para sahabat menyahut, “Kami semua memiliki kasih sayang!”

Nabi berkata, “Bukan itu yang kumaksudkan, kalian bisa dikatakan sebagai orang yang memiliki kasih sayang jika kasih sayang kalian juga dilimpahkan kepada seluruh umat manusia dan alam semesta” 79]

Mungkin kita pernah berdoa, ”Ya Allah, kasihanilah kami” Tetapi bagaimana jika ditanyakan kepada kita,”Apakah kalian sendiri juga suka menyayangi?”

Atau hampir setiap waktu kita berdo’a, “Ya Allah, maafkanlah kami” Tetapi bagaimana jika ditanyakan kepada kita,”Seberapa banyak kalian telah memberi maaf kepada manusia?”

Nabi Saww bersabda, “Allah Yang Maha Rahman mengasihi dan menyayangi orang-orang yang memiliki kasih sayang, karena itu kasihilah mereka yang di bumi niscaya mereka yang di langit juga mengasihimu!” 80]

Rasa belas kasih berarti kepekaan terhadap kondisi atau status dari semua ciptaan Tuhan, baik itu manusia, binatang atau bahkan tumbuh-tumbuhan. Seseorang tidak mungkin bisa memiliki rasa belas kasih kecuali jika ia memiliki kepedulian kepada kebutuhan dan kondisi-kondisi orang lain.

Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan Zakat dan Khumus atas kaum muslimin untuk membebaskan kaum yang lemah, yatim piatu, para janda, orang-orang miskin dan tertindas demi jiwa kaum muslimin itu sendiri. Sebab kepekaan, dan kepedulian kepada mereka yang lemah (dlu’afa) merupakan stimulasi untuk membersihkan jiwa (nafs) agar tumbuh pula kecintaan dan kasih sayang dari jiwa yang telah tersucikan tadi.

Bahkan puasa yang diwajibkan pada bulan Ramadhan itu pun bertujuan untuk itu (‘illat), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ja’far al-Shadiq as, “Allah mewajibkan puasa untuk mempersamakan si kaya dan si miskin. Dengan puasa orang kaya akan merasakan derita lapar untuk menumbuhkan rasa belas kasihnya kepada si miskin, karena selama ini si kaya tidak pernah merasakannya. Allah menghendaki untuk menempatkan makhluk-makhluk-Nya pada suatu pijakan yang sama dengan jalan membuat si kaya turut merasakan nestapanya lapar, sehingga ia menaruh belas kasih kepada orang yang lemah dan lapar.” 81]

KISAH SUFI ABU BIN ‘AZHIM

Diriwayatkan bahwa seorang sufi besar, Abu bin Azhim, suatu waktu terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang malaikat yang sedang memegang sebuah buku. Abu bin Azhim bertanya: “Apa yang sedang anda kerjakan?” “Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan”, jawab sang malaikat.

Abu bin Azhim ingin sekali namanya tercantum sebagai salah seorang pencinta Tuhan di dalam daftar tersebut. Dengan cemas ia mencoba melongok ke daftar itu, tapi kemudian ia sangat terpukul dan kecewa, karena ternyata namanya tidak tercantum di daftar tersebut.

Ia pun bergumam: “Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia”. Beberapa hari kemudian ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya dipenuhi cahaya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi.

Abu bin Azhim kembali mencoba melihat daftar para pencinta Tuhan, dan ia pun sangat terkejut, karena namanya tercantum pada papan atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun bertanya kepada sang malaikat sambil terheran-heran, “Aku ini bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia, bagaimana mungkin namaku tercantum sebagai salah seorang pencinta Tuhan?”. Sang malaikat pun menjawab, “Baru saja Tuhan berfirman kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia” 82]

Rasulullah saww juga bersabda, “Kecewa dan Merugilah orang yang Allah tidak mengaruniai di dalam hatinya rasa kasih sayang kepada umat manusia.”83]

Mencintai Rasulullah saww sama dengan mencintai Allah SwT, mencintai orang tua kita sama dengan mencintai Allah SwT, mencintai sesama manusia sama dengan mencintai Allah SwT. Seorang ‘Arif bi Allah, yaitu, Ahmad ibn Muhammad al-Sawih al-Maliki al-Khalwati berkata, “Engkaulah Muhammad, pintu Allah (Baab Allah), tanpa engkau tidak sampai orang kepada-Nya. Dia, Muhammad, pintu Allah yang agung dan rahasia-Nya (sirruhu), yang membanggakan. Sampainya seseorang kepada Muhammad juga sampainya orang itu kepada Allah, karena sesungguhnya dua hadhrat (Allah dan Muhammad) adalah satu dan siapa yang membedakannya berarti dia belum mengenyam nikmatnya Ma’rifah!” 84]

Kita akan mendengar satu kisah lagi yang sangat indah yang berkenaan dengan Ahlul Bait Nabi-Nya, yaitu percakapan Imam Husain as, yang saat itu masih kanak-kanak, dengan ayahnya, Imam Ali as, sang Insan kamil.

DIALOG IMAM HUSAIN AS DENGAN AYAHNYA
Sewaktu masih kecil Imam Husain as (cucu Rasulullah saww) bertanya kepada ayahnya, Imam Ali as, “Ayah, apakah engkau mencintai Allah?”

Imam Ali as menjawab, “Ya, Tentu!”

Lalu Husain kecil bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?” (maksudnya Rasulullah)

Imam Ali as kembali menjawab, “Ya, tentu saja!”.

Imam Husain bertanya lagi, “Apakah engkau juga mencintai Ibuku?”

Lagi-lagi Imam Ali as menjawab, “Ya, Tentu saja aku mencintai ibumu”

Husain kecil kembali bertanya, “Apakah engkau juga mencintaiku?”

Imam Ali as tersenyum dan menjawab, “Ya, tentu saja aku juga mencintaimu!” Terakhir kali Husain kecil bertanya,”Ayahku, bagaimana bisa engkau menyatukan begitu banyak cinta di dalam hatimu?”

Imam Ali as kemudian menjelaskan kepada puteranya yang sangat dicintainya itu, “Wahai Anakku, pertanyaanmu hebat! Ketahuilah, cintaku pada kakek dari ibumu (Nabi saww), ibumu (Fathimah as) dan kepadamu sendiri adalah karena cintaku kepada Allah. Karena sesungguhnya semua cintaku itu adalah cabang-cabang cintaku kepada Allah Swt”
Setelah mendengar penjelasan ayahnya itu, Husain kecil tersenyum mengerti. 85]

MENCINTAI MANUSIA SAMA DENGAN MENCINTAI TUHAN
Mencintai manusia, pada hakikatnya, sama dengan mencintai Tuhan, karena manusia dan alam ini adalah manifestasi-Nya juga.

Di balik nama-nama Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, Husain atau pun isteri, anak-anak kita, atau siapa pun, sejatinya, di sanalah bersimpuh wajah-Nya dan manifestasi dari nama-nama-Nya.

Al-Qur’an bahkan mewasiati kita agar kita saling nasihat menasihati di dalam menetapi kebenaran, kesabaran dan kasih sayang! : “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakkan, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir, dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (Lihatlah al-Qur’an Surat Al-Ashr dan QS 90 : 17)

Rasulullah saww bersabda :
“Sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang
dan menyayangi orang-orang yang memiliki kasih sayang
dan Dia melimpahkan Rahmat-Nya
atas orang-orang yang memiliki kasih sayang”
(Kanz al-‘Ummal hadits ke : 10381)

Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Sumber: http://qitori.wordpress.com/2007/12/13/cinta-kepada-allah-dan-cinta-kepada-manusia-mungkinkah-dipadukan/#comment-2712

Kamis, 17 Juni 2010

Keagungan Akhlak Rasulullah Shalallahu wa Alaihi Wassalam

Saudaraku, islam sampai kepada kita saat ini tidak lain berkat jasa Baginda Rasulullah Muhammad SAW sebagai sosok penyampai risalah Allah SWT yang benar dan di ridhoi. Dan nanti di padang mahsyar, tiap umat islam pasti akan meminta syafa’at dari beliau SAW dan menginginkan berada di barisan beliau SAW. Namun, pengakuan tidaklah cukup sekedar pengakuan. Pasti yang mengaku umat beliau SAW akan berusaha mengikuti jejak beliau dengan jalan mengikuti sunnah-sunnah beliau dan senantiasa membasahi bibir ini dengan mendo’akan beliau dengan cara memperbanyak bersholawat kepada beliau SAW.

Sejarah tak akan mampu mengingkari betapa indahnya akhlak dan budi pekerti Rasulullah tercinta, Sayyidina Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa sallam hingga salah seorang istri beliau, Sayyidatina A’isyah Rodhiyallahuanha mengatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah “Al-Qur’an”. Tidak satu perkataan Rasulullah merupakan implementasi dari hawa nafsu beliau, melainkan adalah berasal dari wahyu ilahi. Begitu halus dan lembutnya perilaku keseharian beliau. Rasulullah SAW adalah sosok yang mandiri dengan sifat tawadhu’ yang tiada tandingnya.

Beliau pernah menjahit sendiri pakaiannya yang koyak tanpa harus menyuruh istrinya. Dalam berkeluarga, beliau adalah sosok yang ringan tangan dan tidak segan-segan untuk membantu pekerjaan istrinya di dapur. Selain itu dikisahkan bahwa beliau tiada merasa canggung makan disamping seorang tua yang penuh kudis, kotor lagi miskin. Beliau adalah sosok yang paling sabar dimana ketika itu pernah kain beliau ditarik oleh seorang badui hingga membekas merah dilehernya, namun beliau hanya diam dan tidak marah.

Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa ketika beliau mengimami sholat berjamaah, para sahabat mendapati seolah-olah setiap beliau berpindah rukun terasa susah sekali dan terdengar bunyi yang aneh. Seusai sholat, salah seorang sahabat, Sayyidina Umar bin Khatthab bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah baginda menanggung penderitaan yang amat berat. Sedang sakitkah engkau ya Rasulullah? “Tidak ya Umar. Alhamdulillah aku sehat dan segar.” Jawab Rasulullah. “Ya Rasulullah, mengapa setiap kali Baginda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi-sendi tubuh baginda saling bergesekkan? Kami yakin baginda sedang sakit”. Desak Sayyidina Umar penuh cemas.

Akhirnya, Rasulullahpun mengangkat jubahnya. Para sahabatpun terkejut ketika mendapati perut Rasulullah SAW yang kempis tengah di lilit oleh sehelai kain yang berisi batu kerikil sebagai penahan rasa lapar. Ternyata, batu-batu kerikil itulah yang menimbulkan bunyi aneh setiap kali tubuh Rasulullah SAW bergerak. Para sahabatpun berkata, “Ya Rasulullah, adakah bila baginda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya untuk tuan?”. Baginda Rasulullah pun menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apapun akan kalian korbankan demi Rasulmu. Tetapi, apa jawabanku nanti dihadapan Allah, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya? Biarlah rasa lapar ini sebagai hadiah dari Allah buatku, agar kelak umatku tak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti.

Teramat agung pribadi Rasulullah SAW sehingga para sahabat yang ditanya oleh seorang badui tentang akhlak beliau SAW hanya mampu menangis karena tak sanggup untuk menggambarkan betapa mulia akhlak beliau SAW. Beliau diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai suri tauladan yang baik sepanjang zaman.

Saudaraku, sungguh kehadiran Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia lewat segala hal yang beliau contohkan kepada umat manusia. Beliau tidak pernah pandang bulu dalam hal menghargai manusia, penuh kasih sayang, tidak pernah mendendam, malahan beliau pernah menangis ketika mengetahui bahwa balasan kekafiran adalah neraka yang menyala-nyala hingga menginginkan umat manusia untuk meng-esakan Allah SWT.

Cukup kiranya beliau yang jadi suri tauladan kita, umat islam khususnya yang hari ini sebagian sudah sangat jauh dari akhlak Rasulullah, baik dalam tindakan maupun perkataan yang menyejukkan. apa yang dikatakan oleh seorang sastrawan Pakistan, Muhammad Iqbal dalam salah satu karyanya dapat kita jadikan renungan bersama dimana beliau berkata: “Barangsiapa yang mengaku umat Nabi Muhammad, hendaklah berakhlak seperti beliau (Nabi Muhammad)”.

Dalam salah satu hadits dikatakan bahwa “Belum beriman seseorang sehingga aku (Rasulullah Muhammad SAW) lebih dicintainya daripada ayahnya, anak-anaknya dan seluruh manusia”(HR. Bukhari). Kita tidak tahu apakah nanti akan di akui Rasulullah sebagai umatnya atau tidak kelak di yaumil kiamah. Namun satu yang pasti bahwa semua ingin berada di barisan beliau. maka, marilah kita sama-sama berusaha untuk mengikuti akhlak beliau SAW semampu diri kita, sebagai suri tauladan kita yang utama, memperbanyak ucapan sholawat untuknya, membela sunnahnya, bukan malah membelakanginya (mari berlindung dari hal demikian), sebagai bagian dari rasa cinta kita terhadapnya.

Saudaraku, mari kita sampaikan salam dan sholawat kepada beliau SAW, yang dengannya kita akan beroleh cinta dan Syafa’atnya kelak di yaumil mahsyar. insya Allah…Amiin.

Allahumma sholli ‘alaa sayyidina Muhammad, wa ‘alaa aalihi wa shohbihi ajma’iin…

Rabu, 26 Mei 2010

Membangun Akhlakul Karimah

Membangun Akhlakul Karimah

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199)

Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling dari tindakan yang tidak patut.

Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak umat ini.

Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur, sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada periode awal perkembangan Islam.

Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi” (keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.

Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”.

Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan. Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.

Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).

Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap, mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam.

Sabtu, 01 Mei 2010

Pentingnya Tenang Dalam Setiap Ujian

Pentingnya Tenang Dalam Setiap Ujian

Setiap individu baik remaja, dewasa atau orang tua, sudah semestinya pernah menghadapi masalah dalam hidup. Kata orang hidup tanpa masalah bukan hidup namanya. Berlegar dari masalah yang paling besar hinggalah masalah yang paling kecil, semuanya tetap dinamakan masalah. Cuma masalah yang dihadapi oleh seseorang itu berbeza. Bagaimana cara untuk mengatasinya juga adalah juga satu masalah. Namun hakikatnya setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Biasanya sebelum masalah itu selesai kita akan berasa sangat tertekan, hampir putus asa kerana tidak tahan menghadapinya.

Antara masalah yang wujud di persekitaran kita ialah masalah kemiskinan, kehilangan orang tersayang, masalah cinta, pertengkaran dengan ibu bapa, corot dalam peperiksaan serta beribu-ribu masalah lagi. Masalah juga boleh menyumbang kepada masalah yang lain, contohnya masalah remaja yang tidak tahan dengan leteran ibu bapanya boleh membawa remaja itu kepada masalah lepak, pergaulan bebas, dirogol, diculik dan juga mungkin dibunuh. Masalah yang kecil apabila tidak ditangani dengan baik boleh membawa kepada mudarat yang amat besar.

Setiap hari kita tidak akan terlepas dilanda dengan masalah, sekiranya bukan kita yang bermasalah, orang lain pula yang mendatangkan masalah. Oleh itu kita perlu bersedia menghadapi permasalahan tersebut dan cuba mencari kaedah untuk mengatasinya. Di sini saya ingin mengajak Anda sama-sama kita renung sejenak apa sebenarnya maksud setiap masalah itu, kaedah untuk mengatasinya serta panduan menghadapi masalah dengan tenang.

UJIAN IMAN

Masalah sebenarnya adalah ujian Allah kepada kita untuk mengukur sejauh mana tahap keimanan dan ketakwaan kita terhadap-Nya. Sebab sebagai manusia kita sering terlupa serta lalai dengan tanggungjawab kita sebagai hamba Allah apabila hidup kita sentiasa dilimpahi kesenangan dan kemewahan. Lebih-lebih lagi ketika usia remaja, hidup penuh dengan keseronokan dan sentiasa ingin mencuba sesuatu yang baru walaupun perkara itu jelas haram di sisi agama dan menyalahi undang-undang dunia, contohnya mengambil dadah dan hanyut dengan maksiat, dengan adanya ujian seperti ini, ia akan kembali mengingati apakah hidup kita selama ini mengikuti peraturan atau landasan yang telah ditetapkan oleh Allah ataupun telah jauh menyimpang.

Setiap masalah, kesukaran, kesakitan dan apa jua yang menyeksa jiwa adalah merupakan ujian dari Allah untuk menguji sejauh mana iman kita. Iman perlu kepada ujian. Ini jelas sebagaimana maksud firman Allah :

"Adakah manusia itu menyangka bahawa mereka dibiarkan saja mengatakan; "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta." ( al-Ankabut: 2 - 3)

DARJAT DI SISI ALLAH

Ujian atau dugaan yang datang adalah dari Allah, sama ada ujian itu sebagai ‘kifarah’ dosa yang telah kita lakukan atau untuk mengangkat darjat kita di sisi-Nya. Allah juga tidak menduga hamba-hamba-Nya tanpa mengambil kira kesanggupannya atau keupayaan mereka untuk menghadapinya, ujian dan dugaan yang diturunkan Allah kepada hambanya adalah seiring dengan keupayaan individu itu untuk menyelesaikan masalahnya. Ini bersesuaian dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah:286 yang bermaksud “ Allah tidak membebankan seseorang melainkan dengan kesanggupannya”.

Oleh itu sekiranya kita berhadapan dengan masalah, cubalah bawa bertenang, bersabar dan setkan dalam minda bahawa kita sedang diuji oleh Allah, orang yang melepasi ujian itu adalah orang yang berjaya dan mendapat kedudukan yang mulia di sisi Allah.

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Syurga untuk mereka." ( at-Taubah: 111)

CARA MENGATASI MASALAH

1. Sandarkan Harapan Pada Allah

Setiap ujian yang datang sebenarnya mempunyai banyak hikmah di sebaliknya. Yakinlah bahawa setiap kesusahan yang kita tempuhi pasti akan diganti dengan kesenangan. Ini bersesuaian dengan firman Allah dalam surah al-Nasyrah ayat 1hingga 8 yang antara lain maksudnya “ …Sesungguhnya selepas kesulitan itu pasti ada kemudahan….”

"Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada Tuhan selain dari-Nya. Hanya kepada-Nya aku bertawakal."( At-Taubah: 129)

2. Minta Pertolongan Dari Allah

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan yang sabar dan dengan mengerjakan solat; dan sesungguhnya solat itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyuk." ( al-Baqarah: 45)

3. Jangan Sedih dan Kecewa

"Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi darjatnya jika kamu orang-orang yang beriman." ( al-Imran:139)

Yakinlah dengan janji Allah itu dan jangan cepat putus asa dengan masalah yang dihadapi sebaliknya tingkatkan usaha dan kuatkan semangat untuk mengatasinya, lihat maksud firman Allah di bawah:

“ ...dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir”( Yusuf : 12)

4. Luahkan masalah tersebut pada teman-teman yang dipercayai, walaupun dia mungkin tidak dapat membantu, tetapi sekurang-kurangnya ia dapat meringankan beban yang kamu tanggung.

5. Bandingkan masalah kita dengan masalah orang lain, mungkin masalah orang lebih besar dari masalah kita, perkara ini juga boleh membuatkan kita lebih tenang ketika menyelesaikan masalah.

Ujian yang datang juga tandanya Allah sayangkan kita. Jadi ambillah masa untuk menilai diri dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dalam apa jua yang kita lakukan. Lakukanlah untuk mencari redha Allah. Fikir dengan positif bahawa setiap dugaan datang dari Allah dan pasti ada hikmah yang tersendiri.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." – (al-Baqarah: 216)

Motivasi: Menurunnya keimanan itu, bukan alasan untuk bersedihan.

Motivasi: Menurunnya keimanan itu, bukan alasan untuk bersedihan.

Hidup ini penuh pancaroba, dan pancaroba itu ada hikmahnya

Iman sifatnya Yazid wa yanqus. Yazid berasal dari perkataan zada bermaksud tambah. Yanqus berasal dari perkataan Naqasa bermaksud berkurang. Iman itu sifatnya bertambah dan berkurang, naik dan turun.

Itulah dia resminya kita. Hamba Allah SWT.

Ada masa terjatuh juga. Ada masa tersungkur juga.

Dan bila jatuh dan tersungkur itu, jiwa akan sedih meronta-ronta.

“Kenapa begini? Kenapa begini?” Kita akan tertanya-tanya. Seakan-akan kita merasakan betapa amal kebaikan kita tidak bermakna. Amal, amal, amal kemudian berdosa semula. Buat baik, buat baik, buat baik, nanti tersungkur juga.

Akhirnya kita memilih untuk meninggalkan kebaikan. Katanya sudah tiada harapan.

Sebenarnya, kita tidak mengerti bahawa, di dalam kejatuhan iman itu sendiri, ada hikmah besar yang tersembunyi.


Orang-orang yang beriman bukan sempurna

Orang yang beriman itu tidak sempurna. Walaupun dia beriman kepada Allah SWT, tetap ada waktunya dia akan tersungkur jatuh melakukan kesilapan. Adakala kesilapannya besar, adakala kesilapannya kecil. Hatta orang-orang yang alim dan kelihatan seperti malaikat juga ada waktu-waktu kurangnya. Tinggal terzahir atau tidak sahaja.

Ini dibuktikan dengan kisah Abu Dzar RA dan Bilal bin Rabah RA. Apabila satu ketika, Abu Dzar RA memanggil Bilal: “Hoi Anak Hitam” dan kemudian Rasulullah SAW menegur: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya pada dirimu masih ada jahiliyyah”

Ya. Ada kalanya kita dah rasa stabil, rasa keimanan kita meninggi, ada kalanya kita akan terleka dan terlalai. Lantas alpa menolak kita ke gaung kesilapan.

Dan ketahuilah, kesilapan itu sendiri adalah satu ujian.

Dan di dalam ujian itu ada hikmah yang besar daripada Ar-Rahman.

Hikmah satu kejatuhan

Ada kata-kata hikmah berbunyi:

“Hanya si buta mengetahui nikmatnya melihat, hanya si mati mengetahui nikmatnya kehidupan”

Di sinilah tersembunyinya hikmah yang besar mengapa Allah SWT menjadikan keimanan manusia itu berbentuk naik dan turun.

Supaya manusia belajar menghargai keimanan mereka.

Manusia yang telah menyentuh kelazatan iman, apabila mereka tersasar dari landasan keimanan itu, mereka akan rasa kekosongan, rasa kekurangan. Di sinilah bagi yang jiwanya sensitif, akan bangkit segera memperbaiki diri. Dan apabila mereka bangkit, mereka akan bangkit dengan lebih tinggi dari sebelum kejatuhan mereka.

Allah mencipta kitaran Iman sedemikian rupa, agar yang terbaik mampu dihasilkan.

Sebab itu, bumi ini tidak diberikan kepada malaikat untuk mentadbirnya. Tetapi Allah berikan kepada manusia yang pasti akan melakukan kesilapan, tertarik-tarik antara kebaikan dan kefasadan untuk metadbirnya.

Hal ini kerana, hanya yang pernah jatuh, mengetahui kepentingan berada di tempat yang tinggi. Justeru, manusia yang beriman apabila mereka jatuh, mereka akan rasa sebahagian besar kenikmatan hidup mereka tertarik keluar. Di sini, Allah menguji mereka, Allah menapis mereka.

Siapakah antara hamba Allah yang terbaik dalam melangkahi ujian ini?

Dan orang yang benar keimanannya akan bangkit. Bergerak. Memperbaiki diri dan meningkat lebih tinggi.

Hanya orang yang keimanannya palsu, akan terus tunduk dan berputus asa. Jatuh lebih ke bawah dari yang sebelumnya.

Lihatlah Mereka itu

Kembali kepada kisah Abu Dzar, apabila dia ditegur oleh Rasulullah SAW tadi, dia bingkas meletakkan wajahnya ke tanah. Menjerit meminta Bilal memijaknya. Hatinya gentar dengan keimanannya yang menurun. Lantas bergerak memperbaiki dirinya. Dan kita mengetahui bahawa Abu Dzar adalah antara sahabat termulia di sisi Rasulullah SAW.

Lihatlah pula kepada Ka’ab bin Malik, apabila beliau terleka hingga meninggalkan Peperangan Tabuk. Lantas dia sedar akan kesilapannya, tidak pula dia putus asa untuk menjadi baik apabila Rasulullah menghukumnya. Bahkan dia menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya, hingga Allah menurunkan ayat Al-Quran secara terus mengampunkannya.

Lihatlah pula kepada Umar Al-Khattab, dia pada suatu hari membawa Taurat untuk dijadikan rujukan dan Rasulullah SAW marah kepadanya. Selepas itu lihatlah Umar bagaimana dia bergerak menjadi seorang yang sangat tegas atas Al-Quran dan Sunnah. Menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Lihatlah pula kepada Handzalah dan Abu Bakr RA, apabila mereka merasakan diri mereka telah terlalai dari mengingati Allah SWT, lantas mengumumkan bahawa diri mereka telah menjadi munafiq dan menangis-nangis kecewa. Ditegur oleh Rasulullah SAW bahawa perkara itu adalah biasa jika ianya tidak berpanjangan. Dan lihatlah kemudiannya di mana tempat mereka di dalam keimanan. Naik lebih tinggi dari sebelumnya.

Oh, apakah orang-orang yang jatuh itu tidak melihat, bahawa kejatuhan mereka itu hakikatnya adalah pengajaran halus daripada Allah SWT?

Penutup: Bila jatuh, jangan kecewa. Lekas naik semula jangan banyak bicara

Justeru, bila jatuh, bila melakukan kesilapan, bila melakukan dosa, jangan pula rasa tersangat kecewa hingga tiada harapan langsung untuk kita.

Lihatlah betapa hakikatnya, kejatuhan itu adalah untuk mengajar diri kita, mendidik jiwa kita, agar lebih menghargai keimanan kita, menghargai hubungan kita dengan Allah SWT.

Kejatuhan itu sendiri, adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya untuk memberikan peluang kepada mereka tertingkat dengan lebih tinggi lagi.

Maka jangan banyak bicara, jangan berduka terlalu lama, bangkitlah dengan mengambil pengajaran apabila jatuh itu.

Biar bangkit lebih tinggi dari kebangkitan sebelumnya.

Cinta Allah adalah Fitrah Insan

Cinta Allah adalah Fitrah Insan
Hati yang hidup ialah hati yang mencintai Allah. Sesiapa yang mencintai Allah, dia mencintai Islam kerana kehidupan Islam ialah kehidupan yang ditunjuki oleh Allah. Barangsiapa mencintai kehidupan Islam maka dia mencintai kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat radiaLlahu anhum. Kehidupan mereka merupakan tafsiran ajaran Islam secara praktikal. Mereka merupakan lelaki-lelaki atau perempuan-perempuan sejati yang pernah dilahirkan di dunia ini. Mereka juga adalah generasi yang membangunkan dunia dengan kecintaan kepada Allah SWT dan membawa kebahagaian kepada kehidupan manusia dan alam.Apabila kita menyebut tentang cinta Allah, ianya mestilah bertempat di hati sebab hati dicipta untuk merasai dzauqi atau kelazatan menghayatinya. Hati juga tempat makrifat, tempat iman, tempat rindu.


Hati ini dikategorikan oleh Ulama Sufi kepada 4 peringkat, iaitu :
1. Hati yang lalai kepada Allah.
2. Hati yang ingat kepada Allah.
3. Hati yang asyik dengan Allah.
4. Hati yang makrifat kepada Allah.


Pada hari ini, kebanyakan ulama, para pendakwah atau orang awam memiliki hati yang berada pada tahap pertama, iaitu hati yang lalai dengan Allah SWT. Ini dapat dilihat dalam kehidupan mereka yang tidak menunjukkan mereka cinta kepada Allah, bersungguh dalam ibadah dan mujahadah serta sentiasa memelihara diri daripada perkara-perkara yang haram, syubhah dan makruh. Mereka juga tidak berhati-hati dalam perkataan, penglihatan serta pendengaran yang akibatnya hati mereka bertambah keras dan rosak.Berapa ramai ulama yang bercakap tentang takut kepada Allah tetapi sanggup menyembunyikan kebenaran kerana takutkan manusia. Mereka juga dunukilkan oleh Allah sebagai orang yang menjual ayat-ayat Allah untuk kepentingan duniawi. Ada juga di kalangan para daei yang bercakap tentang ayat-ayat Allah tetapi kadang mereka “menjual” ayat-ayat Allah demi mendapatkan keuntungan, kemasyhuran, pengikut yang ramai serta pujian dari manusia lain. Mereka sebenarnya orang-orang yang mati hatinya daripada perasaan cintakan Allah. Manakala orang awam, kehidupan mereka dibelenggu oleh kesibukan mencari harta, pangkat dan mencintai kaum keluarga diatas hawa nafsu sehingga melalaikan mereka daripada Allah SWT.
Manusia wajib mencintai Allah. Ia adalah perkara fitrah kerana asal roh manusia datang dari Allah. Ketika di alam arwah, manusia telah mengaku bahawa Allah adalah tuhan mereka dan tiada yang lain dalam cintanya, zikirnya, ingatannya, pujaannya, semuanya adalah untuk Allah SWT semata-mata. Mereka sudah berilmu dan mengenal Allah dengan pengenalan yang hakiki. Apabila manusia itu lari dari fitrah dan tidak menghalakan roh dan hati mereka untuk mencintai Allah, mereka sebenarnya meronta-ronta untuk kembali kepada Allah, untuk mengenal Allah, mencintai Allah atau Rabbnya kerana itulah fitrahnya.Namun kehidupan dunia yang hanya membawa halangan dan rintangan kepada diri seseorang untuk terbang ke hadrat Ilahi telah menyebabkannya menderita kerana mencintai dunia yang bukan fitrahnya.


Ketahuilah, sesiapa yang cuba menentang fitrah dengan tidak mencintai Allah, sebaliknya mencintai dunia atau yang lain, ia akan menderita.Ramai manusia yang mempunyai atau memiliki kekayaan tetapi sedikit yang memiliki kebahagiaan. Kebahagiaan itu hanyalah apabila roh atau hati kembali kepada Allah. Ibarat seekor ikan yang dilepaskan kembali ke lautan atau nseekor burung yang tinggal di dalam sangkar emas kemudian dibukakan sangkar hingga ia kembali mendapat kebebasan. Walaupun tinggal di dalam sangkar emas, hakikatnya burung itu tidak mendapat kebebasan. Begitu juga dengan roh. Jangan biarkan roh kamu terkurung di dalam sangkar emas (dunia dan hawa nafsu), walaupun ia kelihatan cantik tetapi ia bukan kebahagiaan hakiki.Ramai manusia menyangka apabila mereka kembali kepada Allah, mereka akan terpenjara dan hidup terkongkong kerana dikawal oleh peraturan-peraturan Allah. Sedangkan ianya merupakan satu kunci untuk roh bebas terbang kepada Allah SWT. Apabila mereka menjauhkan diri atau melanggar peraturan-peraturan Allah dan menurut akal mereka, sebenarnya mereka menguncikan diri mereka di dalam sangkar.


Inilah hakikat kehidupan manusia. Sehinggalah mereka dapat melihat ketika menghadapi sakaratul maut, baru mereka akan sedar. Ketika itu, ia sudah tidak berguna lagi.Apabila seseorang itu mencintai harta, maka dia akan menjadi hamba kepada harta. Kalau dia mencintai pangkat, dia akan menjadi hamba kepada pangkat itu. Begitu juga, mencintai kaum keluarga, sanak saudara atau lain-lainnya, maka jadilah dirinya hamba kepada apa yang dicintainya. Sebaliknya, sesiapa yang mencintai Allah, dia akan bermujahadah dengan hawa nafsunya dan membebaskan diri dari belenggu yang mengikat rohaninya untuk mencintai Allah. Hanya kekasih Allah-lah memiliki hati yang mencintai-Nya, sentiasa mengingati-Nya, mencintai akhirat dan menangis kerana takut kepada-Nya. Pecah tumit kakinya kerana berdiri di malam hari menghadap Allah dengan rasa kehambaan. Perasaan kecintaan dan kehambaan yang tinggi kepada Allah menyebabkannya mengambil kehidupan dunia dengan amat sederhana.


Islam telah berjaya menguasai dunia dan menjadi model kepada kehidupan manusia. Islam telah menjadi kuasa yang amat ditakuti dan disegani kerana bukan sahaja menjadi contoh dalam aspek kerohanian tetapi juga dari segi akhlak peribadi dan pendidikan anak-anak. Rumahtangga orang Mukmin tertumpu kepada tujuan mencari cinta Allah. Suami menjadi pemimpin isteri, manakala isteri menjadi penasihat kepada suami dan mendidik anak-anak. Malah Islam telah berjaya melahirkan generasi contoh dalam pengurusan kehidupan manusia seperti dalam urusan ekonomi, politik, pentadbiran negara, intelektual, sosial dan sebagainya. Generasi ini menterjemahkan Islam yang syumul secara praktikal dan membincarakan permasalahan kehidupan manusia seperti kesucian diri dari hadas kecil hingga kepada kesucian pentadbiran negara dan dunia.


Sesungguhnya tidak ada jalan lain untuk melahirkan kembali generasi contoh yang hebat ini melainkan mengikuti kembali jalan-jalan mereka, peribadi, akhlak, ibadah, mujahadah dan pengorbanan jihad mereka. Mereka telah dididik oleh Rasulullah SAW dengan keimanan makrifatullah, keimanan yang hakiki. Diwajibkan ke atas mereka melakukan Qiamullail untuk melahirkan kecintaan kepada Allah, hati yang hidup dengan Allah. Mereka ditarbiyah dengan sentiasa membaca Al-Quran dan menghadiri majlis-majlis tazkirah untuk melahirkan dan menguatkan perasaan cinta kepada Allah. Kecintaan mereka ialah kecintaan kepada hati yang dzauq dan tubuh badan yang sihat. Segalanya berpunca dari hati sebab itu hati mestilah diutamakan dalam pendidikan manusia.

waallahualam..

Rabu, 14 April 2010

Di Balik Kejujuran Seorang Pedagang

Di Balik Kejujuran Seorang Pedagang


إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله.

Saudaraku! Anda pernah membeli buah-buahan atau lainnya dari pedagang buah di dalam kereta, atau pedagang asongan di bis antar kota? Bila pernah, mungkin anda juga pernah merasa betapa pahitnya rasa kecewa batin anda ketika mengetahui bahwa barang yang anda beli ternyata tidak sama dengan yang diperagakan atau dicobakan kepada anda sebelum membeli.

Pengalaman di atas hanyalah salah satu bukti nyata dari kejamnya para pedagang yang batinnya hampa dari keimanan kepada Allah dan hari akhir. Keuntungan materi menjadi pujaannya, sehingga ia menempuh segala macam cara guna mendapatkannya.

Saudaraku! Bersyukurlah, karena Allah telah menjadikan anda sebagai seorang muslim. Islam mengajarkan anda berbagai syari’at luhur dan suci dalam segala aspek kehidupan anda, termasuk dalam urusan perniagaan.

Syari’at Islam mengajarkan anda untuk selalu berbuat jujur dalam segala keadaan, walaupun secara lahir kejujuran tersebut dapat menimbulkan kerugian pada diri anda sendiri.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقَيراً فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً. النساء : 135.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Qs. An Nisa’: 135)

Tatkala Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, beliau menjelaskan: Bahwa ayat ini adalah perintah dari Allah kepada setiap orang yang beriman untuk senantiasa berkata benar. Tidak sepantasnya bagi seorang mukmin untuk meninggalkan kebenaran, dan mudah terpaling darinya. Sebaliknya, orang-orang yang beriman seyogyanya saling bahu membahu, tolong menolong dan menyatu-padukan tekad guna memperjuangkan kebenaran. Mereka menegakkan kebenaran demi menggapai keridhaan Allah. Bila ketulusan niat ini telah terwujud pada diri seseorang, niscaya ucapan dan perbuatannya benar, adil, dan jauh dari penyelewengan atau manipulasi. Kebenaran dan kejujuran ini senantiasa menghiasi kehidupan orang yang beriman, walaupun kadang kala beresiko mendatangkan kerugian pada diri sendiri. Bila hal itu terjadi, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baiknya. Allah pasti memberi orang yang taat kepada-Nya jalan keluar bagi setiap problematikanya. Demikianlah kepribadian orang yang bernar-benar beriman. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan berbagai perasaan dirinya tidak dapat memalingkannya dari menegakkan keadilan dalam segala aspek kehidupannya. (Tafsir Ibnu Katsir 2/433)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada banyak hadits menegaskan akan hal ini, diantaranya pada hadits berikut:

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة، وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا. وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا. متفق عليه

Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia menturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hendaknya kalian senantiasa berbuat jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan membimbing kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan akan membimbing kepada surga, dan senantiasa seseorang itu berbuat kejujuran dan senantiasa berusaha berbuat jujur, hingga akhirnya ditulis disisi Allah sebagai orang yang (shiddiq) jujur. Dan berhati-hatilah kalian dari perbuatan, karena sesungguhnya kedustaan akan membimbing kepada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan akan membimbing kepada neraka. Dan senantiasa seseorang berbuat dusta dan berupaya untuk berdusta hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sehingga tidak heran bila syari’at Islam menjadikan hal ini sebagai salah satu prinsip hidup umat manusia, tanpa terkecuali dalam perniagaan. Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabatnya yang sedang menjalankan perniagaan di pasar:

يا معشر التجار! فاستجابوا لرسول الله صلى الله عليه و سلم ورفعوا أعناقهم وأبصارهم إليه، فقال: إن التجار يبعثون يوم القيامة فجارا، إلا من اتقى الله وبر وصدق. رواه الترمذي وابن حبان والحاكم وصححه الألباني

“Wahai para pedagang!" Maka mereka memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menengadahkan leher dan pandangan mereka kepada beliau. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan kelak pada hari qiyamat sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.” (Riwayat At Timizy, Ibnu Hibban, Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Albany)

Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan hadits ini dengan berkata: “Karena kebiasaan para pedagang adalah menipu dalam perniagaan, dan amat berambisi untuk menjual barang dagangannya dengan segala cara yang dapat mereka lakukan diantaranya dengan sumpah palsu dan yang serupa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memvonis mereka sebagai orang-orang jahat (fajir), dan beliau mengecualikan dari vonis ini para pedagang yang senantiasa menghindari hal-hal yang diharamkan, senantiasa memenuhi sumpahnya dan senantiasa jujur dalam setiap ucapannya.” (Dinukilkan oleh Al Mubarakfuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwazy 4/336)

Bila demikian adanya, maka sudah sepantasnya bagi anda, untuk senantiasa mengindahkan prinsip ini dalam perniagaan anda, dan bahkan dalam segala aspek kehidupan anda. Hanya dengan cara inilah, kehidupan anda akan diberkahi.

عن حكيم بن حزام رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما. متفق عليه

“Dari sahabat Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih selama keduanya belum berpisah, bila keduanya berlaku jujur dan menjelaskan, maka akan diberkahi untuk mereka penjualannya, dan bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan dihapuskan keberkahan penjualannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dari hadits ini, Ibnu Hajar Al ‘Asqalany menarik suatu kesimpulan: “Pada hadits ini terdapat suatu petunjuk bahwa kehidupan dunia tidaklah akan dapat dicapai dengan sempurna kecuali dengan perantaraan amal shaleh. Dan bahwasannya petaka perbuatan maksiat akan menyirnakan seluruh kebaikan dunia dan akhirat.” (Fathul Bary oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/311)

Saudaraku! Manisnya harta dan gemerlapnya keuntungan yang berlimpah memang begitu menggiuarkan. Tidak heran bila liur umat manusia senantiasa menetes tatkala menyaksikan peluang mengeruk keuntungan terbuka lebar-lebar. Sehingga bisa saja derasnya godaan harta ini menjadikan anda hanyut dan lupa daratan. Hanya keimanan anda kepada Allah dan hari akhirlah yang mampu membendung arus ambisi dan keserakahan dunia.

وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ حُلْوَةٌ ، مَنْ أَخَذَهُ بِحَقِّهِ وَوَضَعَهُ فِى حَقِّهِ ، فَنِعْمَ الْمَعُونَةُ هُوَ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ ، كَانَ الَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ. متفق عليه

"Sesungguhnya harta kekayaan itu terasa begitu manis. Barang siapa yang mendapatkannya denga cara-cara yang benar dan dibelanjakan di jalan yang benar, maka harta itu adalah sebaik-baik pembantu baginya. Sedangkan orang yang mendapatkannya dari jalan yang tidak benar, maka ia bagaikan orang yang makan tapi tidak pernah merasa kenyang." (Muttafaqun ‘alaih)

BEBERAPA BENTUK PENYELEWENGAN

1. Sumpah palsu.

Sejarah perniagaan umat manusia telah membuktikan bahwa diantara metode yang sering ditempuh oleh banyak pedagang guna mengeruk keuntungan ialah dengan bersumpah. Sumpah sering kali dijadikan sarana guna meyakinkan calon pembeli atau penjual.

Walau demikian adanya, sikap semacam ini dalam syari’at islam sungguh tercela. Sikap seorang pedagang yang banyak bersumpah, itu menunjukkan bahwa ia telah mengkultuskan keuntungan materi, sampai-sampai nama Allah-pun turut ia jadikan sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الحَلِفُ مَنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ. متفق عليه

"Sumpah itu akan menjadikan barang dagangan menjadi laris manis, (akan tetapi) menghapuskan keberkahan." (Muttafaqun ‘alaih)

Apalah gunanya anda mendapatkan yang besar, bila ternyata keuntungan itu tidak diberkahi Allah?

Sekali lagi, coba anda cermati hadits Nabi di atas, betapa beliau tidak membedakan antara pedagang yang bersumpah palsu dari pedagang yang bersumpah benar! Ini menunjukkan bahwa banyak bersumpah dalam perniagaan adalah perilaku yang tercela, walaupun sumpahnya adalah benar.

Adapun bila ternyata sumpahnya adalah sumpah palsu, tentu dosanya lebih besar. Bukan hanay menghapuskan keberkahan rizki, akan tetapi juga menjadi biang turunnya kemurkaan dan siksa Allah, di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَناً قَلِيلاً أُولَئِكَ لا خَلاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. آل عمران 77

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (Qs. Ali Imran: 77)

Ayat ini diturunkan karena ada seseorang yang menawarkan barang dagangannya, kemudian ia bersumpah dengan nama Allah. Ia berkata pada sumpahnya: sungguh barangnya tersebut telah ditawar seseorang dengan penawaran lebih bagus dari penawaran yang diberikan oleh calon pembeli (kedua). Padahal pernawaran pertama yang ia sebutkan tidak pernah terjadi. (Riwayat Imam Bukhari rahimahullah).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ ، هُوَ عَلَيْهَا فَاجِرٌ ، لَقِىَ اللَّهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى : إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً . رواه البخاري

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa bersumpah guna mengambil sebagian harta seseorang, sedangkan sumpahnya itu adalah palsu. Maka ia akan menghadap kepada Allah, sedangkan Allah murka kepadanya.” (Riwayat Bukhari)

Dan pada riwayat lain Nabi lebih merinci dosa yang akan ditanggung oleh pedagang yang bersumpah palsu dalam peniagaannya:

ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَلاَ يُزَكِّيهِمْ ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ كَانَ لَهُ فَضْلُ مَاءٍ بِالطَّرِيقِ ، فَمَنَعَهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَا ، فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا سَخِطَ ، وَرَجُلٌ أَقَامَ سِلْعَتَهُ بَعْدَ الْعَصْرِ ، فَقَالَ وَاللَّهِ الَّذِى لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ لَقَدْ أَعْطَيْتُ بِهَا كَذَا وَكَذَا ، فَصَدَّقَهُ رَجُلٌ ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً

“Tiga golongan manusia yang kelak pada hari Qiyamat, Allah tidak akan sudi memandang, dan mensucikan kepada mereka. Sebagaimana mereka juga akan mendapat siksa yang pedih: orang yang memiliki kelebihan air di perjalanan, akan tetapi ia enggan untuk memberikannya kepada orang yang sedang melintasinya. Orang yang berbi’at (janji setia) kepada seorang pemimpin, akan tetapi ia tidaklah berbai’at kecuali karena ingin mendapatkan keuntungan dunia. Bila sang pemimpin memberinya harta, maka ia ridha dan bila sang pemimpin tidak memberinya harta, maka ia benci. Orang yang menawarkan dagangannya seusai shalat Asar, dan pada penawarannya ia berkata: Sungguh demi Allah yang tiada Sesembahan selain-Nya, aku telah mendapatkan penawaran demikian dan demikian. Sehingga ada konsumen yang mempercayainya. Selanjutnya Nabi membaca ayat:

إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji(nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit.” (Riwayat Bukhari)

Semoga kisah berikut cukup untuk membangkitkan motivasi pada diri anda untuk senantiasa bersikap jujur pada setiap perniagaan anda, dan tidak mudah bersumpah.

أن عبد الله بن عمر باع غلاما له بثمانمائة درهم، وباعه بالبراءة، فقال الذي ابتاعه لعبد الله بن عمر: بالغلام داء لم تسمه لي، فاختصما إلى عثمان بن عفان، فقال: الرجل باعني عبدا وبه داء لم يسمه. وقال عبد الله: بعته بالبراءة. فقضى عثمان بن عفان على عبد الله بن عمر أن يحلف له، لقد باعه العبد وما به داء يعلمه. فأبى عبد الله أن يحلف، وارتجع العبد، فباع عبد الله العبد بعد ذلك بألف وخمسمائة درهم.

Pada suatu hari, sahabat Abdullah bin Umar menjual kepada seseorang, seorang budak dengan harga 800 dirham. Pada perjanjian, sahabat Abdullah bin Umar mensyaratkan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas segala cacat yang tidak ia ketahui (ketika akad). Selang beberapa hari, pembeli budak kembali dan menemuinya dan berkata: “Pada budak tersebut terdapat penyakit yang tidak engkau sebutkan kepadaku (di kala akad berlangsung).” Karena tidak dicapai kata sepakat, mereka berdua mengangkat perselisihan mereka ke Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu. Pembeli berkata: “Ia menjual kepadaku seorang budak yang padanya terdapat cacat yang tidak ia sebutkan (ketika akad).” Sedangkan sahabat Abdullah (bin Umar ) menjawab: “Aku menjual budak itu dengan syarat aku terbebas dari segala cacat yang tidak aku ketahui.” Menanggapi persengketaan ini, Khalifah Utsman memutuskan agar Abdullah bin Umar bersumpah (di hadapannya) bahwa ketika akad jual-beli, ia tidak mengetahui cacat yang dimaksud pada budak tersebut. Akan tetapi sahabat Abdullah bin Umar enggan untuk bersumpah, dan lebih memilih untuk mengambil kembali budak tersebut. Di kemudian hari, ia menjual kembali budaknya itu (kepada orang lain) dan laku jual dengan harga 1.500 dirham. (Riwayat Imam Malik, Abdurrazzaq, dan dinyatakan shahih oleh Al Baihaqy, dan disetujui oleh Al Hafidh Ibnu Hajar)

Demikianlah saudaraku! Bila anda meninggalkan suatu hal karena mengharapkan keridhaan Allah dan takut akan kemurkaan-Nya, pasti Allah akan menggantikan anda dengan yang lebih baik.

Demikian janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anda:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً اتِّقَاءَ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ إِلاَّ أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْراً مِنْهُ) رواه احمد وصححه الألباني

“Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena takut kepada Allah Yang Maha Agunng lagi Maha Mulia, melainkan Allah akan memberimu pengganti yang lebih baik dari yang engkau tinggalkan.” (Riwayat Ahmad dan dinyatakan shahih oleh Al Albani)

2. Mengurangi Timbangan.

Diantara praktek perdagangan yang nyata-nyata menyelisihi prinsip ini ialah berbuata curang dalam urusan timbangan dan takaran.

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ . الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ . وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ . أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ . لِيَوْمٍ عَظِيمٍ . يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (Qs. Al Muthaffifin: 1-6)

Dan di antara bentuk wujud kemurkaan Allah Ta’ala kepada orang-orang yang berbuat curang dalam perniagaan ialah:

ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أخذوا بالسنين وشدة المؤنة وجور السلطان

“Dan tidaklah mereka berbuat curang ketika menakar dan menimbang, melainkan mereka akan ditimpa kekeringan, mahalnya biaya hidup, dan kelaliman para penguasa.” (Riwayat Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqy dan dihasankan oleh Al Albany)

Bila kita cermati hadits ini, kemudian kita bandingkan dengan keadaan kita sekarang, niscaya kita akan mengatakan bahwa kita telah mendapatkan bagian dari ancaman ini. Wallahul musta’an.

Saudaraku! Tegakah hati anda bila ternyata perniagaan anda adalah biang terjadinya kesengsaraan bangsa kita; paceklik, kekeringan, korupsi, perilaku sewena-wena para penguasa negri kita?

Tidakkah anda mengimpikan negeri kita menjadi negeri yang makmur dan memiliki pemerintahan yang adil? Inilah salah satu upaya yang harus anda tempuh untuk mewujudkannya. Siapkah anda mewujudkan impian anda ini? Buktikan kesiapan anda pada pola dan metode perniagaan anda.

Bukan hanya sebatas kekeringan, dan kelaliman para pengusa, akan bahkan perbuatan curang dalam perniagaan adalah salah satu sebab dibinasakannya kaum Madyan, yaitu umat Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam, sebagaimana diceritakan dalam Al Qur’an Al Karim. (Kisah mereka disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim surat Al A’araf 85-91, surat Hud 84-95, As Syu’ara’ 176-190)

Allah Ta’ala berfirman:

أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلاَ تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ . وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ . وَلاَ تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ وَلاَ تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ . الشعراء 181-183

“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; (182) dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (Qs. As Syu’ara’: 181-183)

3. Menyembunyikan cacat dan kekurangan barang.

Di antara ulah sebagian pedagang yang tidak mencerminkan akan keimanannya kepada Allah dan hari akhir ialah perbuatan menyembunyikan cacat dan kekurangan barang.

Berbagai trik dan cara ditempuh oleh para pemuja harta kekayaan guna menyembunyikan cacat barang. Apapun yang anda lalukan, selama itu bertujuan untuk menyembunyikan kekurangan barang dagangan anda, maka itu adalah perbuatan tercela.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم: مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها، فنالت أصابعه بللا، فقال: ما هذا يا صاحب الطعام؟ قال: أصابته السماء يا رسول الله! قال: أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس، من غش فليس مني. رواه مسلم

Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan tersbeut, lalu jari-jemari beliau merasakan sesuatu yang basah, maka beliau bertanya: “Apakah ini wahai pemilik bahan makanan?” Ia menjawab: “Terkena hujan, ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Mengapa engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabuhi maka bukan dari golonganku.” (Riwayat Muslim)

Karenanya, sudah saat bagi anda untuk senantiasa bersikap transparan dalam perniagaan anda. Jelaskan apa adanya, kabarkan sebagaimana yang anda ketahui, niscaya Allah akan memberkahi perniagaan anda.

Demikian, semoga apa yang disampaikan di sini bermanfaat bagi kita semua, dan semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan kejujuran kepada diri kita, dalam tutut kata, perbuatan dan lainnya, amiiin.

***

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

Menyibak Permata Di balik Mahabbatullah

Menyibak Permata Di balik Mahabbatullah

“Dari Abu Hurairah ra. Berkata,

Rasulullah SAW perbah bersabda:

“Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman: “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, sungguh Aku telah menyatakan berperang terhadapnya, tiada seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku fardlukan atasnya. Hamba-Ku senantiasa melakukan ibadah nafilah himgga Aku mencintainya, dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dan menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya, menjadi tangan yang dia memegang dengannya, dan menjadi kaki yang dia berjalan dengannya. Jika dia memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya dan jika dia memohon perlindungann kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya”.

(Al-Hadits).

Sudah menjadi fitrah manusia ingin merasakan cinta dan dicintai. Tidak lengkap rasanya hidup tanpa adanya cinta. Tidak sempurna keberadaan seseorang tanpa cinta. Tak lengkap keberadaan Nabi Adam tanpa Siti Hawa, walaupun berada di surga yang penuh dengan kenikmatan. Bagai sayur tanpa bumbu. Bagai roti tanpa gula. Terasa ambar tak terasa. Damai hati bersama kekasih. Merana hati dikala jauh dari kekasih. Hati yang dilanda cinta terasa berada ditaman yang bertabur bunga, bau harum semerbab mewangi. Elok, indah, dan sedap dipandang mata. Kumbang-kumbang dengan riang gembira menari-nari di pucuk dedaunan menikmati keindahannya.

Cinta tumbuh bersemi dari perkenalan. Jika tak kenal, maka takkan ada namanya cinta. Kenal bermula dari tahu. Rasa ingin tahu mendorong seseorang untuk mengenal sesuatu dari dekat. Pepatah mengatakan: “Tak tahu, maka tak kenal. Tak kenal, maka tak cinta”. Sekedar tahu belumlah cukup untuk orang itu terpikat. Namun, tahu itu mendorong seseorang untuk mengenal. Dengan mengenal sejatinya sesuatu, hati terpesona oleh keindahan dan keelokannnya, kemudian terpikat dan terjerat api cinta. Demikian pula kita temukan peribahasa: “Dari mana datangnya lintah, dari paya turun ke kali. Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati”.

Seorang maha siswa sedang menyusuri teras kampus menuju perpustakaan, tiba-tiba berpapasan dengan gadis yang cantik rupawan menebar bau harum. Kedua bola mata maha siswa ini tak berkedip terpesona dengan kecantikan gadis itu. Wajahnya cantik rupawan, kulitnya halus kuning langsat, rambutnya panjang terurai hitam mengkilat, bola matanya sipit, pandangannya redup, suaranya lebut, dan langkah-langkahnya lemah gemulai. Sungguh sempurna penciptaannya. Tahunya pemuda ini mendorongnya untuk mengetahui tentang siapa namanya, di mana alamatnya, kuliyah di mana, jurusan apa, semester berapa?. Pertanyaan-pertanyaan ini maunya segera terjawab. Berbagai carapun dia lakukan untuk mengenalnya. Lewat SMS, lewat surat, dan teman-teman dekatnya. Dia pun memberanikan diri untuk berkenalan. Akhirnya, dia pun terjerat panah asmara dengan gadis itu. Perkenalan membawanya pada rasa cinta.

Seorang pengusaha kaya raya suatu kali menghadiri pameran mobil mewah merk terkenal. Dua matanya tertuju pada sebuah mobil trendi. Bodinya keren, mesinnya halus, teknologinya canggih, motif dan warnanya serasi sesuai dengan selera hatinya. Dia pun menjadi penasaran ingin mengenal mobil itu dari dekat. Bahkan, dia ingin segera mencobanya. Semakin dia dekat dan kenal dengan mobil itu, semakin terpikat hati ingin memilikinya. Dia kerahkan segenap kemampuannya untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, agar bisa membelinya. Terasa lega dikala mobil yang diharapkan sudah berada dalam genggaman.

Demikianlah, cinta kepada Allah SWT. bermula dari kenal (ma’rifah) kepada-Nya. Siapa Allah Al-’Alaa, apa nama-nama-Nya, bagaimana sifat-sifat kebesaran-Nya. Mengenal Allah dari dekat, memicu seseorang untuk mencintai-Nya. Betapa Maha Agung Rububiyah dan Uluhiyah-Nya. Betapa Maha Rahman Rahimnya Allah terhadap semua hamba-Nya. Semua dikasih, baik yang taat atau pun yang durhaka, yang beriman maupun yang kafir. Hamba yang dikasih tidak terpilih dan hamba yang disayang tidak terbilang. Allah begitu dekat dengan hamba-hamba-Nya. Lebih dekat dari urat nadi manusia. Hanya hamba yang berhati batu yang tidak bisa merasakan kedekatan-Nya. Betapa besar kasih sayang Allah kepada semua hamba-Nya. Manusia bisa makan-minum dengan lahap semua nikmat Allah, bernafas dengan lega, berjalan dan berlari dengan dua kaki ini. Dia memberi kita dua mata, dengan keduanya kita bisa melihat keindahan panorama alam, wujud kebesaran dan keagungan Allah. Dan masih banyak sekali nikmat-nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya sebagai bukti bahwa Allah menyayangi makhluk-Nya. Tetapi, Allah tak pernah meminta imbalan, walaupun cuma sekali. Hanya keimanan di dasar lubuk hati yang diimplementasikan dalam ketaqwaan dan menjauhi larangan-Nya sebagai wujud rasa syukur hamba atas semua nikmat-Nya. Hamba yang buta mata hatinya tidak dapat peka terhadap kasih sayang Allah. Bagi hati yang buta, sejuta pelita tak akan banyak berarti baginya.

Cinta adalah perhiasan hidup yang mempercantik kehidupan. Semuanya membutuhkan akan cinta. Cinta menyulap seseorang yang lemah menjadi perkasa, yang susah menjadi riang gembira, yang waras menjadi gila, dan yang sadar menjadi melayang. Dengan cinta, hilang rasa letih, lupa permasalahan, dan hidup menjadi optimis. Cinta itu buta dan tuli. Tidak perduli dengan orang di sekitarnya, yang terpenting dia bersama kekasihnya. Cinta yang menggelora akan menjadi ruh kehidupan. Semua gerakan kehidupannya digerakkan dan dimotifasi oleh rasa cinta. Jika kekasihnya senang, dia merasa senang. Jika kekasihnya dirundung duka, dia ikut merana. Cinta menyatukan dua hati yang berbeda. Badai gelombang akan dihadapi dengan tenang asal dekat dengan kekasihnya. Detak jantung memendam rasa kerinduan.

Demikian pula, jika seorang hamba telah jatuh cinta dengan Rabbnya. Kekurangan fisik dan materi bukanlah penghalang untuk dapat bermesraan dengan Rabbnya. Rasa cinta kepada-Nya menjadi ruh kehidupannya. Hatinya terus terpaut memendam rasa rindu kepada-Nya, lisannya selalu basah mengingat-Nya. Asma-asma-Nya yang agung menyelinap di selah-selah irama kehidupannya. Lantunan ayat-ayat qouliyah-Nya menggema di semua sisi kehidupannya. Pikirannya tajam menyingkap kebesan-Nya dibalik apa yang terlihat oleh mata. Seluruh tenaganya dipergunakan untuk meraup kebahagiaan Kekasihnya. Tidaklah keluar butiran-butiran peluh dari tubuhnya, kecuali untuk mengais kasih sayang-Nya. Tidak bergalir darahnya, kecuali mengharap kedekatan dengan-Nya. Damai rasa hati bersama-Nya. Tentram jiwa bermesraan dengan-Nya. Tak ada pesona terindah melebihi keindahan ketika bersama Kekasihnya. Kalau cinta membara, maka hati, pikitan, dan jiwa tercurah kepada Kekasihnya. Cinta hamba kepada Sang Kholiknya, mempunyai kekuatan dasyat untuk memenuhi panggilan Kekasihnya. Hamba yang tersulut api cinta, dia akan mengorbankan apa saja untuk memenuhi tuntutan Kekasihnya. Jauh terasa dekat. Berat terasa ringan. Sulit terasa mudah. Pahit terasa manis. Jalan terjal mendaki akan dilalui. Gunung tinggi akan dilewati. Lautan luas akan disebrangi. Badai gelombang tak gentar akan dihadapi dengan tenang dan hati lapang bagi hamba yang tersandung cinta dengan Kholiknya.

Insan yang terpana asmara dengan Allah Al-Rahim, segera melangkah untuk menunaikan shalat lima waktu dengan khusyu’ dikala panggilan Kekasihnya dikumandangkan. Dia akan qiyamul lail pada saat kebanyakan manusia terlena dengan impinya. Dibasuh muka dan disucikan anggota tubuhnya, dia gelar sajadah, dia tundukkan hati dan jiwanya memenuhi seruan Rabbnya. Putaran tasbis tak terhitung jumlahnya. Nama kebesaran-Nya mengalir deras dari lisannya. Derai air mata tanda bahagia mengalir membasahi kedua pipinya. Suara lirih dia bisikkan pantun-pantun cinta di hadapan Kekasihnya. Begitu dalam rasa cinta yang tersimpan di dalam hatinya. Dia pejamkan kedua matanya dari pandangan yang tak diingi Pujaannya. Dia hentikan semua prilakunya dari kemaksiatan yang dibenci-Nya. Dia kemas kado termahal dan terindah, saat pertemuan dengan mengikhlaskan semua ibadahnya. Dia tak akan berbuat sebelum dia bertanya kepada Kekasihnya … Allah SWT. : “Apakah Allah ridla atau tidak terhadap dirinya, Apakah Allah suka atau tidak dengan kelakuannya, dan apakah Dia akan menerima perbuatan atau menolak amal yang di madukan dengan yang lain?”. Jika Dia senang dan ridla, maka segera dia persiapkan semuanya dengan hati tulus dan senang. Kelezatan iman terasa mengiringi hidup hamba yang terjerat panah asmara dengan Rabbnya. Subhanallah.

Cinta yang tumbuh subur di dalam sanubari seorang hamba dapat melupakan dia terhadap segala-galanya. Tak akan banyak berarti baginya kemewahan tanpa keidlaan Kekasihnya. Tak akan berharga kedudukan tinggi, jika Dia berpaling muka darinya. Tak akan bernilai apa yang dia lakukan dan dikumpulkan dengan susah payah, ketika Dia enggan menerimanya lantaran diduakan dengan yang lainnya. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Satu tahun terasa satu bulan. Satu bulan terasa satu minggu. Satu minggu terasa satu hari. Sehari terasa satu jam. Satu jam terasa satu menit. Dan semenit terasa satu detik. Semua waktunya dipersembahkan kepada Sang Pujaan hatinya. Tiada waktu yang berlalu, kecuali bersama Sang Tambatan hati. Dia jadikan 24 jam bersama Kekasihnya Yang Maha Agung. Subhaanallah, betapa indah hidup hamba penuh rasa cinta dengan Kekasihnya. Inilah sejatinya cinta. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sejatinya cinta berada dalam tiga perkara, yaitu dia akan senang memilih ucapan kekasihnya dari pada ucapan selainnya, dia akan memilih duduk bersama kekasihnya dari pada duduk dengan selainnya, dan dia akan memilih ridla kekasihnya dari pada memilih ridla selainnya”. (al-Hadits).

Sedangkan kecintaan seorang hamba kepada sesuatu selain Allah SWT, tidak dapat dikatakan cinta sejati atau cinta yang tulus. Karena di dalam cintanya terdapat hasrat terselubung. Pepatah mengatakan: “Ada udang di balik batu”. Cinta seorang pemuda kepada seorang gadis tidak dapat dikatakan cinta sejati, karena boleh jadi, kecintaannya karena kecantikannya, hartanya, atau cinta yang dislimuti oleh sahwat seksual. Lihatlah!, setelah sang buah hati lahir, wajah istri mulai berkerut dan keriput, rambut mulai beruban, maka cintanya mulai terbagi dan memudar. Kalau cinta seorang pemuda karena kecantikannya, maka cintanya akan lenyap bersamaan dengan hilangnya kecantikannya. Jika karena hartanya, cintanya akan hilang bersama dengan susutnya harta kekayaannya. Tidak ada yang kekal di dunia ini, termasuk kecantikan, kedudukan dan kekayaan. Kecantikan dan kekayaan akan sirna ditelan jaman. Dan akan menjalani proses perhitungan kelak yaumal kiamah.

Betapa seorang istri menangis meratap pada saat kepergian suami tercintanya, tetapi setelah beberapa bulan kemudian cinta terhadap suaminya tadi sudah hilang, berganti kecintaannya kepada lelaki yang lain. Dia lupa akan suami yang pernah menjadi tambatan hati dan tumpuan hidupnya dahulu. Cintanya pudar dan lenyap ditelan masa.

Lihat pula!, bagamana cintanya seorang hartawan kepada mobil barunya. Dirawatnya setiap hari, dijaga dengan hati-hati sekali, dicuci setiap hari, dikontrol oli dan bensinya, dan dicek kondisi mesinnya. Dipakai mobil itu dengan hati yang was-was takut tergores. Semakin mahal harga mobilnya, semakin was-was menggunakannya. Betapa dia memanjakan kendaraan itu. Kecintaannya terhadap mobil itu mengalahkan cintanya kepada anak istrinya. Tetapi, setelah mobil sudah usang, berulang kali mengalami kerusakan, di jalan tanjakan sering mogok, dan catnya mulai memudar, maka kualitas cintanya ikut memudar. Cinya hanya kamuflase belaka. Setelah dia mendapat apa yang diingini, dia campakkan begitu saja. Habis manis sepah dibuang.

Seorang ibu rumah tangga begitu menyukai aneka bunga. Teras rumah dan halamannya ditanamii dengan bunga-bunga yang elok rupawan. Dia tata dan dirawat bunga itu dengan hati-hati. Dahan dan daun kering disiangi. Sesekali dipindah ke dalam pot baru yang lebih bagus. Tidak lupa juga dilakukan peremajaan tanahnya dengan memberi pupuk dan disirami setiap hari, agar tanah menjadi gembur dan subur. Begitu besar dia mengharapkan keindahan dan kesejukan di rumahnya. Apapun dilakukannya. Waktunya tercurahkan untuk merawat bunga itu. Walhasil, memang bunga tumbuh dengan suburnya, tanpak panorama warna-warni bunga memperindah rumahnya. Bau harumpun menyebar di seleruh sudut rumahnya. Diciumi dan dibelai-belai bunga itu pagi dan sore. Tetapi, setelah bunga-bunga itu beranjak tua dan layu, kuntumnya berguguran, daunya menguning, dahan dan rantingnya mengering, maka cinta ibu itu mulai surut, bahkan sudah hilang sama-sekali. Dicabuti bunga-bunga kering itu, kemudian ditumpuk di tempat sampah, disiram minyak tanah, lalu dibakar semua. Habis sudah cintanya bersamaan dengan terbakarnya bunga itu.

Begitulah cinta insan terhadap selain Allah SWT. Mula-mula bergejolak, kemudian berangsur-angsur pudar dan akhirnya hilang sama sekali. Sehingga ada pepatah mengatakan bahwa: “siapa yang cinta kepadamu karena sesuatu, niscaya dia akan berpaling darimu setelah dia mendapatkan apa yang diaharapkan darimu”.

Berbeda dengan seorang yang cinta kepada Rabbnya yang selalu segar dan indah. Semakin dia mencintai-Nya, Dia pun semakin cinta kepadanya. Bila diri telah jatuh cinta dengan Rabbnya, maka terasa tak berguna segala apa yang ada. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki siap dikorbankan jika Dia ingini. Di mana dia menatap yang tampak adalah Wajah-Nya. Deburan ombak yang bergelombang, bintang bertaburan di langit, saat mentari menyinari bumi, pepohonan yang menghijau, hamparan luas padang rumput, gurus sahara yang tak berair, lautas lusa yang tak bertepi, hiruk-pikuknya perkotaan, lalu-lalang manusia di tengah-tengah mereka berusaha mengais rizki, maka yang tampak di balik semuanya adalah Keagungan Allah ……. Kekasihnya.

Allah berfirman:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ

“kemanapun kamu menghadap, maka yang tampak hanyalah wajah Allah”.

(QS. Al-Baqarah:115).

Dalam keadaan apapun dia selalu yang dingatnya adalah Allah SWT. Allah berfirman:

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَّعَلَى جُنُوْبِهِمْ ….

Mereka ingat kepada Allah diwaktu berdiri, duduk, dan berbaring..

(QS. Ali Imran: 191).

Bahkan jika namanya disebutkan jiwanya bergetar, tubuhnya panas dingin, detak jantung pun menderas, dan hatinya gelisah, seakan-akan dia akan bertemu dengan Kekasihnya. Semakin bertambah rasa cinyanya kepada-Nya. Firman Allah SWT:

“Sejatinya orang-orang yang beriman itu ialah apabila disebut nama Allah gemetar hatinya. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah kepadanya bertambah imannya, mereka bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Al-Anfal: 2).

Jika diri telah tenggelam dalam mencintai Allah, maka dia akan merasakan lezatnya iman, terasa indahnya kehidupan, terasa sahdunya menjadi penghuni bumi ini. Begitu nikmat saat tegak berdiri dalam kekhusyu’an shalat, alangkah lezatnya saat lisan basah dengan berdzikir, begitu lega dan bahagianya ketika dapat berbagi dengan sesama. Dilalui alur-alur kehidupan dengan rasa ridla dan syukur yang mendalam terhadap anugerah Ilahi. Inilah sejatinya hidup _nsane di dunia ini. Menjalani perintah Allah dengan rasa syukur dan menjauhi larangan-Nya dengan keridlaan. Di sinilah sesungguhnya berakarnya sikap ridla. Ridla tak akan ada jika tak ada mahabbah. Cinta menimbulkan ridla, dan sifat ridla menimbulakan rasa syukur, dan ridla dan syukur inilah membuahkan perasahaan tuma’ninah, sakinah, sa’adah, dan istiqomah.

Jadi, _nsane yang dapat merasakan kecintaan kepada Allah Ta’ala, dia akan selalu bersama Allah. Tangannya akan bekerja dengan izin Allah, kakinya berjalan dibimbing oleh Allah, matanya melihat dengan keagungan Allah, hatinya selalu mengingat Allah. Pikirannya tertumpu pada kebesaran Allah. Lisannya terus bertasbih memuji Allah. Nafasnya keluar-masuk dengan teratur beriringan dengan nama-nama Allah. Batinnya tentram, damai, lapang, bahagia, dan lembut terpikat kelembutan Sang Maha Lembut. Semua ini merupakan anugrah Allah yang sangat besar. Rasa cinta ini akan diperoleh seorang hamba, jika dia mampu melepaskan diri dari balutan harta haram, melanggengkan dzikir, mengenal Allah lebih dekat, taubatan nasuha dari semua dosa, zuhud terhadap dunia, istiqomah dalam beribadah, senang menunaikan ibadah nafilah, ikhlas dan diawali dengan niat karena Allah dalam semua amalnya, dan selalu berdo’a kepada Allah, agar Dia berkenan memberikan cintanya kepada kita. Semoga kita semua menjadi _nsane yang dicintai dan mencintai Allah ta’ala. Amin. Wallahu a’lam.

Ajak diri merenungi diri ………

Sudah berapa lama Allah memberi kita usia?…

Berapa banyak kita nikmati karunia-Nya?…..

Sudahkah semuanya elat kita syukuri?……

Sudahkan asma Allah mengiringi nafas kita? ….

Sudahkan kita memandang dengan cinya-Nya?…..

Sudahkah kita berjalan dengan cinta-Nya?………

Ya Rabb, Engkaulah tujuanku……….

Ya Rabb, Ridla-Mu harapanku…….

Rahmat-Mu dambaanku……..

Hamba-Mu yang dlo’if ini menghadap kehadirat-Mu

Berikan kepadaku akan cintamu……

Anugerahkan kepadaku ma’rifat dan mencintai-Mu

Cintailah hamba seperti Engkau mencitai kekasih-Mu..

Amin.

Jumat, 02 April 2010

Pentingnya Tenang Dalam Setiap Ujian




Pentingnya Tenang Dalam Setiap Ujian

Setiap individu baik remaja, dewasa atau orang tua, sudah semestinya pernah menghadapi masalah dalam hidup. Kata orang hidup tanpa masalah bukan hidup namanya. Berlegar dari masalah yang paling besar hinggalah masalah yang paling kecil, semuanya tetap dinamakan masalah. Cuma masalah yang dihadapi oleh seseorang itu berbeza. Bagaimana cara untuk mengatasinya juga adalah juga satu masalah. Namun hakikatnya setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Biasanya sebelum masalah itu selesai kita akan berasa sangat tertekan, hampir putus asa kerana tidak tahan menghadapinya.

Antara masalah yang wujud di persekitaran kita ialah masalah kemiskinan, kehilangan orang tersayang, masalah cinta, pertengkaran dengan ibu bapa, corot dalam peperiksaan serta beribu-ribu masalah lagi. Masalah juga boleh menyumbang kepada masalah yang lain, contohnya masalah remaja yang tidak tahan dengan leteran ibu bapanya boleh membawa remaja itu kepada masalah lepak, pergaulan bebas, dirogol, diculik dan juga mungkin dibunuh. Masalah yang kecil apabila tidak ditangani dengan baik boleh membawa kepada mudarat yang amat besar.

Setiap hari kita tidak akan terlepas dilanda dengan masalah, sekiranya bukan kita yang bermasalah, orang lain pula yang mendatangkan masalah. Oleh itu kita perlu bersedia menghadapi permasalahan tersebut dan cuba mencari kaedah untuk mengatasinya. Di sini saya ingin mengajak Anda sama-sama kita renung sejenak apa sebenarnya maksud setiap masalah itu, kaedah untuk mengatasinya serta panduan menghadapi masalah dengan tenang.

UJIAN IMAN

Masalah sebenarnya adalah ujian Allah kepada kita untuk mengukur sejauh mana tahap keimanan dan ketakwaan kita terhadap-Nya. Sebab sebagai manusia kita sering terlupa serta lalai dengan tanggungjawab kita sebagai hamba Allah apabila hidup kita sentiasa dilimpahi kesenangan dan kemewahan. Lebih-lebih lagi ketika usia remaja, hidup penuh dengan keseronokan dan sentiasa ingin mencuba sesuatu yang baru walaupun perkara itu jelas haram di sisi agama dan menyalahi undang-undang dunia, contohnya mengambil dadah dan hanyut dengan maksiat, dengan adanya ujian seperti ini, ia akan kembali mengingati apakah hidup kita selama ini mengikuti peraturan atau landasan yang telah ditetapkan oleh Allah ataupun telah jauh menyimpang.

Setiap masalah, kesukaran, kesakitan dan apa jua yang menyeksa jiwa adalah merupakan ujian dari Allah untuk menguji sejauh mana iman kita. Iman perlu kepada ujian. Ini jelas sebagaimana maksud firman Allah :

"Adakah manusia itu menyangka bahawa mereka dibiarkan saja mengatakan; "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta." ( al-Ankabut: 2 - 3)

DARJAT DI SISI ALLAH

Ujian atau dugaan yang datang adalah dari Allah, sama ada ujian itu sebagai ‘kifarah’ dosa yang telah kita lakukan atau untuk mengangkat darjat kita di sisi-Nya. Allah juga tidak menduga hamba-hamba-Nya tanpa mengambil kira kesanggupannya atau keupayaan mereka untuk menghadapinya, ujian dan dugaan yang diturunkan Allah kepada hambanya adalah seiring dengan keupayaan individu itu untuk menyelesaikan masalahnya. Ini bersesuaian dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah:286 yang bermaksud “ Allah tidak membebankan seseorang melainkan dengan kesanggupannya”.

Oleh itu sekiranya kita berhadapan dengan masalah, cubalah bawa bertenang, bersabar dan setkan dalam minda bahawa kita sedang diuji oleh Allah, orang yang melepasi ujian itu adalah orang yang berjaya dan mendapat kedudukan yang mulia di sisi Allah.

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Syurga untuk mereka." ( at-Taubah: 111)

CARA MENGATASI MASALAH

1. Sandarkan Harapan Pada Allah

Setiap ujian yang datang sebenarnya mempunyai banyak hikmah di sebaliknya. Yakinlah bahawa setiap kesusahan yang kita tempuhi pasti akan diganti dengan kesenangan. Ini bersesuaian dengan firman Allah dalam surah al-Nasyrah ayat 1hingga 8 yang antara lain maksudnya “ …Sesungguhnya selepas kesulitan itu pasti ada kemudahan….”

"Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada Tuhan selain dari-Nya. Hanya kepada-Nya aku bertawakal."( At-Taubah: 129)

2. Minta Pertolongan Dari Allah

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan yang sabar dan dengan mengerjakan solat; dan sesungguhnya solat itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyuk." ( al-Baqarah: 45)

3. Jangan Sedih dan Kecewa

"Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi darjatnya jika kamu orang-orang yang beriman." ( al-Imran:139)

Yakinlah dengan janji Allah itu dan jangan cepat putus asa dengan masalah yang dihadapi sebaliknya tingkatkan usaha dan kuatkan semangat untuk mengatasinya, lihat maksud firman Allah di bawah:

“ ...dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir”( Yusuf : 12)

4. Luahkan masalah tersebut pada teman-teman yang dipercayai, walaupun dia mungkin tidak dapat membantu, tetapi sekurang-kurangnya ia dapat meringankan beban yang kamu tanggung.

5. Bandingkan masalah kita dengan masalah orang lain, mungkin masalah orang lebih besar dari masalah kita, perkara ini juga boleh membuatkan kita lebih tenang ketika menyelesaikan masalah.

Ujian yang datang juga tandanya Allah sayangkan kita. Jadi ambillah masa untuk menilai diri dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dalam apa jua yang kita lakukan. Lakukanlah untuk mencari redha Allah. Fikir dengan positif bahawa setiap dugaan datang dari Allah dan pasti ada hikmah yang tersendiri.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." – (al-Baqarah: 216)

Kamis, 01 April 2010

SIMPONY


Aku melangkah dengan langkah indahku untuk ke luar rumahku agar aku dapat menatap langit yang biru...
Dengan membawa Indahnya senyuman yang menggambarkan begitu besar CintaMu...
Senyuman yang dapat bercerita tentang indahnya Mahabbah Rabbku...
Keindahan yang tidak mampu dapat ditorehkan oleh tinta...
Atas Karunia Rabbku, aku mampu mempermanis manisnya senyum Indahku...
Agar dapat membawakan suatu gambar yang lebih Indah kepadamu tentang Keindahannya...
Karena aku tak mampu dapat menggoresnya pada sebuah kertas...
Aku datang dengan membawa segengam senyum di bibirku...
Agar dapat menggambarkan kepadamu tentang Indahnya Karunia itu melalui senyuman Indahku...
Sebagai bingkisan dariku kepadamu, Wahai jiwa-jiwa tenang yang penuh ketentraman...
Sehingga berpijarlah Karunia yang menghiasi dunia dengan Selendang Cahayanya...
Karunia yang hendak memberikan ketentraman bagi jiwa-jiwa yang tenang...
Yaa Rabb, tak ada dariku yang dapat melukiskan MahabbahMu, Kecuali Senyuman Indah ini...
Maka, Izinkanlah Senyuman ini dapat menjadi pena yang dapat melukiskan Indahnya MahabbahMu di Tempat aku berpijak...
Hingga Karunia itu dapat menguatkan pijarnya lagi ketika sempat terlelap dalam padamnya...
Allahuma Amiiin...

Cinta dan Kasih Sayang, Prinsip Utama Islam

Cinta dan Kasih Sayang, Prinsip Utama Islam


Sesungguhnya kita bisa mengatakan bahwa inti dari keseluruhan ajaran Islam itu adalah kasih sayang. Mulai dari sumber asal (Allah SWT), kitab pedoman (Al Quran), dan aplikasi praktisnya (Muhammad SAW) adalah kasih sayang
Belum lama setelah Nabi SAW wafat, Abu Bakar al-Shiddiq yang terpilih menjadi khalifah mendatangi Aisyah dan bertanya kepadanya, apa gerangan yang sering dilakukan oleh Nabi SAW yang belum ia penuhi?
Aisyah kemudian menunjuk bahwa di kampung sana ada seorang perempuan Yahudi, sudah sangat tua lagi buta, dan dari mulutnya selalu keluar ucapan cercaan, makian, hinaan dan kecaman terhadap Muhammad.
Nabi SAW saban hari datang mengunjunginya, memberi makan dan merawat perempuan tua ini dengan penuh kasih sayang. Perempuan tua ini sama sekali tidak tahu bahwa yang merawatnya ini adalah manusia agung yang selalu dicerca dan dimakinya itu.
Ketika Abu Bakar kemudian menemukan perempuan tua tersebut, Abu Bakar pun mencoba mendekati dan mencoba melakukan seperti yang dilakukan Nabi SAW terhadapnya. Akan tetapi, baru pada suapan pertama, nenek tua itu memuntahkan apa yang sudah masuk ke mulutnya, dan berkata dengan sangat marah, "Siapa kamu?" Pasti bukan kamu yang sering datang menyuapi dan merawatku. Tidak seperti itu cara dia memperlakukanku."
Abu Bakar al-Shiddiq menjawab, "Betul nek, memang bukan aku. Orang yang sering mendatangi nenek tersebut telah meninggal dan dia adalah Muhammad SAW." Mendengar nama Muhammad disebut, nenek tua tadi tersentak kaget, sungguh berbeda dengan apa yang ada di benaknya selama ini, tapi dia masih sempat mengucap syahadat, lalu meninggal.
Sungguh amat agung pribadi Nabi. Celaan, cemoohan, cercaan, makian, rasa benci, sang nenek Yahudi sama sekali tidak membuat sifat agungnya tercederai sedikit pun. Dia tetap merawatnya dengan sepenuh kasih sayang.
Satu bukti yang menegaskan keagungan sifat yang sangat pengasih dan penyayang. Tidak heran jika banyak musuhnya yang kemudian menjadi pembela dan sahabat setianya. Tidak heran juga jika sahabat-sahabatnya begitu amat mencintainya melebihi cintanya bahkan kepada dirinya sendiri dan keluarganya.
Abu Sufyan, musuh besar Nabi terkagum-kagum dan berkata,...'Sungguh aku belum pernah melihat seorang pun yang dicintai sahabatnya sebagaimana sahabat Muhammad mencintainya'...". Tidak heran, karena Allah sendiri memuji pribadi agung itu, wa innaka la 'ala khuluqin adhim (sungguh telah ada pada dirimu perangai akhlak yang agung).

Dari mana sih sifat kasih sayang Nabi itu? Mengapa dalam diri beliau tertanam sifat yang amat penuh cinta dan kasih itu?
Dalam hal ini, ada tiga hal yang mungkin bisa dijelaskan terkait dengan pribadi agung ini. Yang pertama adalah Allah SWT sebagai pendidiknya yang utama, dan yang mendidiknya secara langsungnya, yang diakui oleh nabi sendiri, Addabani rabbi fa ahsana ta'dibi (Tuhanku telah mendidikku dan mendidikku dengan pendidikan terbaik). Sebagai pendidik paling agung, Allah sendiri melalui Al Quran menginformasikan kepada kita bahwa Dia sendiri telah mewajibkan atas dirinya sifat kasih sayang, kataba 'ala nafsihi al-rahmah.

Pedoman Hidup
Dari sini kemudian kita bisa menebak dan mengetahui bahwa apa pun yang diturunkan dari-Nya pastilah produk dari sifat kasih sayang tersebut. Mulai dari pengutusan para nabi dan rasul yang tugasnya membimbing manusia, menurunkan kitab suci (ayat qauliyah) yang merupakan firmannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup. Alam semesta (ayat kauniyah) yang ditundukkan kepada manusia untuk dikelola dan dikhalifahi sesuai petunjuk-Nya, dan lain-lain. Kasih sayang itulah yang mendasari semua yang ada ini. Ini yang penting dicatat sebagai sebuah paradigma mendasar dari keseluruhan ajaran Islam itu sendiri.
Khusus yang terlihat dari kitab-Nya (ayat qauliyah), seabrek ayat yang menunjuk langsung kepada sifat rahmah ini dapat kita lihat dari ratusan jumlah kata rahmah atau derivasinya yang ada di dalam Quran, setiap surah kecuali surah Bara'ah dimulai dengan basmalah (Bismillahirrahmanirrahim)
.
Bahkan ada surah yang dinamai surah al-Rahman (surah kasih sayang). Allah sebagai sumber kasih sayang tersebut, dengan kasih sayangnya tidak hanya menurunkan kitab petunjuk, tapi juga mengutus rasul sebagai contoh hidup, aplikasi nyata dari kitab itu atau yang biasa diistilahkan dengan Quran berjalan.
Dialah Muhammad SAW. Allah sendiri lewat Al Quran menyatakan, Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil-'alamin (Tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Ketika Aisyah ra ditanya tentang akhlak Nabi SAW, Aisyah menjawab, kana khuluquhu Al Quran (Akhlak beliau adalah Al Quran).
Apa yang penulis ceritakan di atas adalah secuil dari episode panjang perjalanan hidup beliau dalam menerapkan prinsip kasih sayang tersebut. Beliau juga pernah bersabda, irhamu man fi al-ardhi yarhamkum man fi al-samai.
Kutipan cerita nenek Yahudi yang sangat membenci Nabi SAW tersebut menegaskan dan meyakinkan kita betapa prinsip kasih sayang itulah yang menjadi core, prinsip Islam yang paling utama, tanpa melihat kepada siapa obyek kasih sayang itu ditujukan.
Dengan demikian, sesungguhnya kita bisa mengatakan bahwa inti dari keseluruhan ajaran Islam itu adalah kasih sayang. Mulai dari sumber asal (Allah SWT), kitab pedoman (Al Quran), dan aplikasi praktisnya (Muhammad SAW) adalah kasih sayang.

Prasangka Baik
Seluruh perintah dan larangan ajaran agama atau dengan kata lain, hukum Islam, pinsipnya adalah kasih sayang. Hukum menjadi sarana bagi kita memastikan setiap orang mendapatkan kasih sayang. Bahkan prinsip surga dan neraka adalah kasih sayang.
Neraka tidaklah Allah jadikan secara sengaja untuk menghukum hambanya yang berdosa, tapi di balik itu ada prinsip kasih sayang yang mendasarinya. "Rahmatnya mendahului murka-Nya" demikian salah satu hadis Nabi saw yang kita baca.
Para ulama kita memaknainya, "bahkan di dalam murkanya sekalipun, di balik musibah yang menimpa kita misalnya, sesungguhnya tersimpan kasih sayang-Nya."
Tentu kalau prinsipnya kasih sayang, akan melahirkan cara pandang, cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak yang pasti akan berbeda dengan yang lain. Prinsip ini juga yang membuat Islam menjadi inklusif karena pendekatannya kepada orang lain adalah kebaikan hati, berpikir potitif, dan prasangka baik.
Ketika seorang pemuda mendatangi majelis Nabi SAW dan dengan terus terang menyatakan keinginannya untuk berzina, karena dia tidak dapat menahan dirinya, para sahabat dalam majelis itu bereaksi. Ada yang mencelanya, ada yang menarik bajunya, dan ada juga yang siap untuk memukulnya.
Akan tetapi, Nabi SAW dengan penuh kasih menarik sang pemuda itu mendekat kepadanya, dan mulai berbicara dengannya dari hati ke hati. "Relakah kamu jika ibumu juga dizinai oleh seseorang?" Demikian antara lain isi pembicaraan Nabi SAW yang sama sekali di luar dugaan pemuda itu, dan begitu menohok sisi terdalam kemanusiaannya, yang kemudian membuatnya kehilangan semua keinginannya untuk berzina.
Sebagai hamba Allah SWT Yang Maha Pengasih, yang mempedomani kitab suci Al Quran, dan menauladi Muhammad SAW, kita tentu sangat dituntut untuk memancarkan prinsip kasih sayang tersebut kepada alam semesta secara keseluruhan. Ala kulli hal, kasih sayang itu harus kita pancarkan setiap saat, setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari kepada siapa pun dan kepada seluruh makhluk-Nya.
Kasih sayang dalam Islam sungguh tidak mengenal waktu khusus, seperti yang dirayakan sebagian besar anak-anak muda kita dewasa ini, dan kasih sayang yang mereka kenal justru sangat bertentangan dengan kasih sayang yang diajarkan Islam.***